Minggu, 01 Februari 2015
Mitos Mengenai Gua Sangiang Tikoro
BILA kita memasukkan lidi ke mulut Gua Sangiangtikoro, lalu lidi terbawa masuk ke dalam, konon akan terdengar jerit kesakitan. Cerita ini mengumpamakan seperti tikoro (tenggorokan) yang sakit jika kemasukan duri.
ALIRAN Sungai Citarum yang masuk ke gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro dan menjadi sungai bawah tanah yang terletak di daerah batu kapur selatan Rajamandala Kab. Bandung.* T. BACHTIAR
Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh yang maha besar. Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat maestro geologi van Bemmelen percaya pula sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Van Bemmelen yang sangat kagum pada sakakala Sangkuriang itu, melihat ada kesamaan urutan kejadian antara sakakala dengan proses geologi Bandung. Tak ayal lagi pendapat suhu ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili, sehingga semua guru lulusan B-1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia memercayai pula bahwa Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan Indonesia, sehingga sampai sekarang pun orang tetap masih meyakini Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Aliran Citarum itu bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, seperti sungai terbuka biasa, yang satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Tenggorokan dalam bahasa Sunda adalah tikoro. Maka, tempat penyayatan air di daerah batu kapur selatan Rajamandala itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiangtikoro.
Batuan di Sangiangtikoro disebut batu gamping, batu kapur, atau batu karang. Batuan kapur memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak setipis selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik, kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut. Sekira 23 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang koral mengendap di laut dangkal yang jernih antara Tagogapu Rajamandala - Palabuanratu.
Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Batuan ini dapat larut dalam air yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer, yang pada umumnya terdapat di semua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiangtikoro adalah hasil proses pelarutan sehingga dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Pada 2002 Budi Brahmantyo dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) meneliti geomorfologi di daerah Padalarang dan Rajamandala hingga Saguling untuk memperbaiki sejarah bumi Bandung. Dia menyimpulkan bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya Danau Bandung Purba!
Danau Bandung Purba
Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun pembentukan danau semakin sempurna karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung.
Air semakin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan paras air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di timur hingga Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran di selatan.
Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno - Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.
Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Pada tahun 1959 sesungguhnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis:
"... Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak di antara gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.), sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang sekarang, dengan demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan menentukan tinggi permukaan air paling atas...
Namun sayang laporannya itu kurang mendapat tanggapan yang baik dari para ahli. Budi Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI, Jakarta, menjelaskan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersentuhan dengan Sangiangtikoro.
Dalam tulisan itu disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan melalui hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.
Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300 - 400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.
Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh muka air tanah.
Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang Tengah yang berupa batuan intrusif yang muncul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri dari batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur akhirnya menyusut pula.
Curug Jompong merupakan tempat yang mudah dijangkau bila dibandingkan dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri. Di sana terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kokoh, dan mengagumkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.
Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air yang sangat halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya tempat tersayatnya batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja, yang kemudian tersayat oleh kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung Purba itu menembus batuan.
Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang lalu. Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.
Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m. atau 712,5 m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui. Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat tempat penglepasan, yang menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.
Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut itu menjadi "pisau" tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.
Pada saat Danau Bandung Purba barat surut, keadaan Danau Bandung Purba timur masih tergenang, karena sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Jadi, Danau Bandung Purba barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba timur, tapi surut lebih awal.
Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba menyusut 16.000 tahun yang lalu.
Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah menuliskan dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum di sekitar Curug Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian, ditelantarkan, padahal dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang!***
(T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).
Sumber : Pikiran Rakyat
Mitos
Salah seorang sepuh berserita kepada saya bahwa dahulu sebelum kemerdekaan apabila orang tuanya memancing di Ci Tarum, maka tidak lupa membawa "lepit" sebanyak tujuh buah. "Lepit" adalah bungkusan yang terbuat dari daun sirih dan di dalamnya berisi sedikit kapur pinang, dan bahan lainnya yang siap dikunyah tetapi tidak dimakan. Sebelum memancing ketujuh "lepit" itu dilempar ke sungai. Kebiasaan lainnya adalah ketika akan pergi ke Cianjur untuk menghadiri pertemuan pendekar silat setelah menyeberang dengan rakit atau jembatan bambu, maka beliau akan melemparkan ikatan tali ijuk.
Konon yang "ngageugeuh" Ci Tarum berupa seekor ular keemasan dengan lingkaran di lehernya. Untuk hal ini ada beberapa versi cerita. Terlepas dari maksud para orang tua dahulu menciptakan mitos, kita dapat memaknainya sekarang bahwa memulai sesuatu selalu memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan agar memerlakukan lingkungan dan mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak semena-mena.
Kepercayaan bahwa Sangiang Tikoro (394 m) tempat bobolnya Danau Bandung bertahan hingga awal abad ke-21. Selain itu Sangiang Tikoro juga merupakan bagian dari Legenda Sangkuriang yang sudah dikenal paling tidak pada abad ke-15 berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik. Pada 1959 K. Kusumadinata seorang geolog mengisyaratkan Sangiang Tikoro bukan tempat bobolnya Danau bandung Purba. Baru pada tahun 2002 tulisan ilmiah dalam MGI Vol. 17 (Budi Brahmantyo, Bandono, dan Sampurno), “Analisis Geomorfologi, Perbukitan Saguling – Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak melalui Gua Sangiangtikoro” menegaskan lagi hal itu. Seharusnya dari dulu sudah ada yang berpikir kritis, Kota Bandung yang menjadi danau berada di ketinggian 600-725 m dpl sedangkan Sangiang Tikoro 394 m. Perbedaan ketinggian dan geomorfologi/bentang alam sudah harus menjadi pertimbangan berdasarkan prinsip fisika sederhana. Bayangkan keyakinan itu bertahan berabad-abad. Dan kini kami berjalan bersama salah seorang peneliti tersebut dan memberi pencerahan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari pembimbing acara, kami melanjutkan perjalanan mengitari rumah turbin dan berjalan di samping Ci Tarum Lama. Sejenak saya melihat pertemuan air dari Ci Tarum lama dan air yang keluar dari rumah turbin sebelum masuk ke Sangiang Tikoro. Sebelumnya kami melewati sepasang pipa pesat yang menyalurkan air dari Danau Saguling rumah turbin dengan perbedaan ketinggian sekira 300 m.
Setelah Ci Tarum dibendung menjadi Bendungan Saguling dan airnya mengalir melalui pipa pesat, maka penggalan Ci Tarum lama sebelah barat menjadi surut dan dipasok dari beberapa anak sungai dan mata air seperti yang saya lewati pada segmen rumah turbin-Leuwi Malang. Akibatnya kita dapat melihat bongkahan-bongkahan batu yang dahulunya terendam air, sungguh menakjubkan. Batu tampak warna-warni, karena selain terdiri dari banyak jenis batuan sedimen terdapat pula dari jenis karst (kapur/gamping) yang merupakan bagian dari karst Rajamandala yang memanjang ke daerah Cianjur Selatan hingga Sukabumi.
- See more at: http://go-informasi.blogspot.com/2012/10/mitos-mitos-mengenai-gua-sangiang.html#sthash.gY5TK8dC.dpuf
Perubahan Geomorfologi Citarum Sejak 55.000 Tahun yang lalu
Perubahan Geomorfologi Citarum Sejak 55.000 Tahun yang lalu
SUNGAI Citarum pernah dijadikan batas kerajaan-kerajaan wilayah di Tatar Sunda. Nama sungai ini diambil dari nama tanaman (nila). Daerah hulunya di Cisanti – Gunung Wayang, pernah dijelajahi satria pengembara Bujangga Manik (abad ke-15 atau ke-16). Saat melintasi kawasan Priangan ini, Bujangga Manik sudah mengenal dengan baik sakakala Sangkuriang kesiangan, seperti yang ia tuliskan dalam catatan perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Bali seorang diri.
Sungai ini mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan manusia dan kebudayaan masyarakatnya. Secara alami, Bandung berada di kuali raksasa Cekungan Bandung.
Ke dalam cekungan ini mengalir sungai-sungai yang bersumber dari gunung-gunung yang berada di pinggiran kuali raksasa tersebut, lalu sungai itu berbelok mengalir ke arah Barat Laut, sesuai arah kemiringan wilayah ini.
Pinggiran Cekungan Bandung terdiri dari rangkaian gunung-gunung. Di utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Putri. Sebelah timur ada Gunung Manglayang, di selatan ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Mandalawangi. Di bagian tengah ada rangkaian gunung api tua, dan di barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Bandung memang dilingkung gunung!
Ketika pantai utara (pantura) pulau Jawa masih di sekitar Pangalengan sekarang, cekungan Bandung masih berupa laut dangkal yang ditumbuhi binatang koral yang indah. Perbukitan kapur di Tagogapu – Rajamandala adalah salah satu buktinya. Terus terjadi proses pengangkatan kulit bumi, sehingga pantai utara pulau Jawa bergeser terus ke arah utara. Karena arah pengangkatan kawasan Bandung Raya ini berasal dari selatan, air akan mengalir ke Utara, termasuk aliran induk Citarum.
Saat Kala Pliosen, sekira 4 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan gunung api di selatan Cimahi, dibuktikan dengan adanya Pasir Selacau, Pasir Lagadar, dan lain-lain yang mengarah utara – selatan. Dengan lahirnya gunung api intrusif ini, aliran Citarum menyusuri kaki timur rangkaian gunung api tua ini, dan terus mengalir ke utara melewati Padalarang sekarang. Nantinya rangkaian gunung api purba ini menjadi Pematang Tengah yang memisahkan Danau Bandung Purba Timur dengan Danau Bandung Purba Barat.
Baru pada zaman kuarter kala Plestosen, lahirlah Gunung Sunda. Gunung api ini tingginya lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl.). Pada kala ini pula Gunung Sunda meletus dahsyat hingga membentuk kawah yang sangat luas (kaldera), disusul terjadinya patahan Lembang yang memanjang timur – barat sepanjang 22 km dari kaki Gunung Manglayang hingga sebelah barat Cisarua.
Bagian utaranya relatif turun sedalam 450 m, terutama di bagian timur patahan, sementara bagian selatan relatif tetap pada posisinya. Aliran Citarum berbelok ke Barat menyusuri sisi patahan yang sekarang dialiri Cimeta.
Mengisi patahan Lembang
Gunung Tangkuban Parahu meletus sekitar 125.000 tahun yang lalu dari sisi timur kaldera Gunung Sunda. Material letusannya sebagian mengisi patahan Lembang, dan sebagian lagi mengalir ke arah barat daya Bandung.
Letusan dahsyat berikutnya terjadi sekitar 55.000 tahun lalu. Material letusannya membanjir menutupi wilayah yang sangat luas hingga ke daerah Kopo dan Leuwigajah di selatan. Material gunung api yang luar biasa banyaknya itu telah membendung Citarum purba di utara Padalarang hanya dalam hitungan puluhan menit. Maka terbentuklah Danau Bandung purba.
Akibatnya, ada bagian Citarum yang hilang karena tertimbun material letusan, dan induk Citarum dari daerah yang terbendung ke hilir menjadi anak Sungai Citarum yang namanya berubah menjadi Sungai Cimeta. Sungai Cimeta bertemu kembali dengan Sungai Citarum.
Saat Bandung menjadi danau, kawasan ini sudah dihuni manusia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya artefak dari batu obsidian yang berupa mata anak panah, mata tombak di atas garis kontur +712,5 dpl. yang bahan bakunya diambil dari Gunung Kendan di sekitar Nagreg, serta kerangka ngaringuk di Gua Pawon.
Pada saat Bandung menjadi danau raksasa, dan ketika air genangannya mulai bersentuhan dengan dinding perbukitan di sisi barat danau, sejak itulah air merembes di dinding danau dan membentuk mata air di bawahnya, yang kemudian menjadi salah satu anak Citarum purba.
Sekitar 18.000 tahun yang lalu, muka air laut turun sangat dalam, sehingga laut dangkal seperti Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan menjadi kering, dan dasarnya bisa dilalui hewan dan manusia yang bermigrasi. Akibat dari susut laut ini, akan terjadi erosi ke arah hulu sungai yang luar biasa besarnya.
Inilah salah satu penyebab kuatnya erosi mudik yang mengikis hulu sungai hingga dapat membobol hulu sungainya di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara, yang merupakan dinding barat Danau Bandung purba.
Akhirnya Danau Bandung purba mendapat penglepasan di celah-celah bukit tipis (hogback/pasiripis/lalangasu) antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung purba barat.
Terowongan/sungai bawah tanah (Sangiangtikoro), ternyata bukan tempat bobolnya Danau Bandung purba. Terdapat perbedaan ketinggian antara 300-400 meter antara Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung purba yang mencapai ketinggian 712,5 meter dpl. (Budi Brahmantyo, 2001).
Derasnya aliran air Danau Bandung purba Barat telah mengikis ke arah hulu, dan menggerus dan menjebol celah Danau Bandung purba Timur di Curug Jompong. Setelah bekas danau Bandung purba menjadi kawasan basah, aliran Citarum memotong Pematang Tengah menuju arah Barat. Maka terjadi perubahan aliran sungai, yang asalnya anak sungai berubah menjadi induk Citarum.
Pada akhir abad ke 20, aliran Citarum di bagian tersempit di Selatan Rajamandala sengaja dibendung menjadi Danau Saguling untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Jawa dan Bali. Akibatnya ada bagian Citarum yang tergenang danau, dan sungai di bagian hilir bendungan menjadi sungai, karena aliran air dari danau itu dialirkan melalui dua pipa luncur untuk memutarkan turbin di Pembangkit Listrik di sekitar Sangiangtikoro.
Perubahan aliran Citarum di Cekungan Bandung terus berjalan hingga kini. Pengelolaan lahan di hulu sungainya telah menyebabkan pendangkalan sungai dan danau begitu cepatnya. Nasib Citarum bertambah mengenaskan dengan pencemaran limbah industri yang sudah melampaui batas.
Apa yang akan terjadi kalau tiga danau yang berada di aliran Citarum terus mendangkal karena pelumpuran yang sangat tinggi? Akankah arah Citarum berbelok lagi?
T. Bachtiar,
Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, Kamis, 4 Agustus 2005
Bukti Sejarah "Bandung Purba" Terancam oleh Penambangan Pasir dan Batu
Kawasan Citatah mendekati kehancuran
Disadari atau tidak, di kawasan Bandung ada bukti-bukti alam terbentuknya daratan Bandung purba yang sangat berharga. Di antaranya kars (batu kapur) di Citatah, Padalarang, Kab. Bandung, sebagai bukti daerah itu pada zaman miosen awal (23 – 17 juta tahun lalu) pantai utara (pantura) ada di sana. Kini kawasan itu dikenal antara lain dengan Karangpanganten, Karanghawu, Pasir (Bukit Pabeasan), dll. “Pokoknya bukti alam purba di Bandung bagian barat itu cukup lengkap, termasuk peninggalan Danau Bandung purba,” ujar T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia (MGI) yang bersama istrinya Dewi Syariani, Sabtu (20/3), meluncurkan buku Bandung Purba (Lindungi Pusaka Bumi Bandung), di Sekretariat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), Jln. Pajajaran 128, Kota Bandung. Selain anggota MGI, hadir juga undangan dari berbagai kalangan akademisi, pariwisata, pemerhati lingkungan dan pers. Turut memberi sambutan antara lain Ketua PWI Jawa Barat Us Tiarsa. Sedangkan dari utusan pemerintahan hanya dari Kota Bandung dan Cimahi. Dia juga menjelaskan, sekitar kawasan Bandung bagian barat itu terdapat pula batuan intrusif (lava yang mendesak lapisan bumi dan muncul ke permukaan) dan saat ini dikenal seperti dengan nama Gunung Paseban dan Gunung Lagadar. Akan tetapi Bachtiar menyayangkan, kondisi hasil bentukan geologis itu kini tengah terancam. Munculnya industri penambangan kapur serta penambangan batu terus menggerogoti bukti-bukti sejarah terbentuknya kawasan Bandung. Hal itu perlu segera dicari jalan penyelamatan secara arif sehingga batu-batuan itu tidak punah sama sekali. “Mengapa pemerintah daerah setempat tidak segera menetapkan kawasan konservasi demi menjaga bukti-bukti Bandung purba itu? Lebih bagus, jika kawasan itu dihutankan kembali,” ujar Bachtiar. Menurut Bachtiar, jika melihat bukti-bukti terbentuknya daratan Bandung itu, semestinya bukan semata sebagai aset lokal atau regional, bahkan semestinya jadi aset nasional. Sungguh sangat langka menemukan bukti seperti di tengah lingkungan yang relatif tak jauh dari perkotaan. “Sejauh dari referensi yang pernah saya baca, di Eropa ada batuan intrusif pinggir pantai yang jadi kebanggaan. Batuan itu selalu dipertontonkan kepada wisatawan, padahal bentuknya kecil saja, jauh dengan bentuk tiang-tiang heksagonal di Gunung Lagadar,” kata Bachtiar. Menyinggung bukunya yang baru diterbitkan MGI, kata Bachtiar, merupakan hasil catatan perjalanan bersama istrinya keluar masuk kawasan tersebut. Tidak kurang dari tiga tahun, baru bisa terwujud sebuah buku. “Kesulitan yang saya hadapi, saat membuat foto. Ketika berada di sana, tiba-tiba cuaca tidak menguntungkan,” kata Bachtiar, sarjana Geografi IKIP Bandung. Sementara itu Koordinator KRCB Budi Brahmantyo mengatakan, buku itu bisa dianalogikan dengan Bandung Tempo Doeloe yang ditulis Haryoto Kunto. Hanya, jika Haryoto menulis bagaimana menyelematkan arsitektur Kota Bandung zaman dulu, sedangkan Bachtiar menggugah dan menyoroti bagaimana menyelamatkan arsitektur bentukan alam yang jauh lebih tua. Pada buku itu bisa dibaca bagaimana alam yang unik secara geologis dan geografis di sekitar Bandung. “Di Jepang, hampir di setiap kota besar dan kecil memiliki museum alam. Walau museum itu kecil warga Jepang tetap bangga terhadap museum reruntuhan alamnya. Makanya, warga Bandung harus bangga dengan mengatakan, di sini 25 juta tahun lalu pernah ada laut dangkal dengan tanaman laut yang indah, lho!” ujar Budi, yang juga dosen di Departemen Teknik Geologi, ITB.
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret 2004
Danau Bandung bukan karena Tangkuban Parahu
Danau Bandung bukan Karena Tangkuban Parahu
Kondisi saat Cekungan Bandung terendam air 105.000 tahun yang laluPARA ahli geologi, baik dari Belanda seperti R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe maupun dari Indonesia seperti J.A. Katili, berpendapat bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena letusan dari Gunung Tangkubanparahu. Kemudian pendapatnya itu secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
Dalam karya R.W. van Bemmelen (1936) The Geological Hystory of Bandung Region (translated from Dutch by Robert Smit and Richard Bennett, 1976), demikian juga bukunya yang monumental (1949) The Geology of Indonesia, bagaimana kepincutnya van Bemmelen oleh sasakala Sangkuriang – Dayang Sumbi.
Dalam buku geologi setebal bantal bayi yang berbobot itu, masih menyelipkan sasakala Sangkuriang dalam boksnya. Setelah direkonstruksi, peristiwa geologi Bandung versi van Bemmelen itu ada kesamaan kronologi dengan sakakala tersebut, satu di antaranya bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena peristiwa Gunung Tangkubanparahu yang meletus malam hari dan membendung Citarum purba di utara Padalarang.
Setelah membaca disertasi Mochamad Nugraha Kartadinita yang berjudul “Tephrochronological Study on Eruptive History of Sunda-Tangkuban Perahu Volcanic Complex, West Java, Indonesia” (Kagoshima University, Japan, March, 2005), keyakinan saya tentang pembendungan Danau Bandung Purba oleh Gunung Tangkubanparahu mulai berubah. Walau pun dalam disertasinya tidak dituliskan secara langsung tentang pembentukan Danau Bandung Purba, karena memang di luar kajiannya, saya bisa menyimpulkan, letusan maha dahsyat Gunung Sunda-lah yang telah membendung Citarum purba tersebut.
Sisa kedahsyatan Gunung Sunda
Para anggota TNI AD dan para penggiat kehidupan di alam bebas yang sering berlatih di Situ Lembang, di lembah antara Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Burangrang, pasti sangat akrab dengan pemandangan berupa rangkaian dinding yang memanjang sejak Lawangangin hingga di utara Situ Lembang. Itulah dinding kaldera Gunung Sunda.
Di ujung utara rangkaian dinding itu ada nama Gunung Sunda yang tingginya 1.854 meter dari permukaan laut (dpl.), sebuah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang ini sesungguhnya bukanlah Gunung Sunda yang asli, karena hanya merupakan satu titik dari kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar + 20 km, dan ketinggiannya ditaksir 4.000 m. dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu. Sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, kebanyakan menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya.
Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 meter dpl., ini hanya satu per tiga bagian dari Gunung Sunda. Dua per tiganya lagi adalah bagian gunung yang telah ambruk bersama meledaknya gunung ini. Dengan diketahuinya ketinggian gunung ini maka volumenya akan diperoleh, sehingga dapat mengetahui derajat besaran letusannya.
Pada masa prasejarah, gunung ini meletus dengan jenis letusan plinian, letusan yang banyak mengeluarkan gas gunung api. Letusan tipe ini menyebabkan material gunungapinya disemburkan ke berbagai wilayah yang sangat jauh, hingga Citarum di selatan Rajamandala, dan tersebar di kawasan seluas 200 km2.
Karena begitu banyaknya material dari dalam bumi yang dikeluarkan itulah maka terjadi kekosongan dalam dapur gunung apinya. Inilah salahsatu yang mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda hingga membentuk kawah yang sangat luas yang disebut kaldera Gunung Sunda. Dari tengah kaldera ini kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu, yang kemudian meletus beberapa kali.
Dalam disertasinya itu Mochamad Nugraha Kartadinita (MNK) menyimpulkan, bahwa ada gunung api yang lebih besar lagi sebelum adanya Gunung Sunda. Jadi, menurutnya Gunung Sunda lahir dari kaldera Pra-Gunung Sunda. Saya mengusulkan nama Gunung Pra-Sunda itu diberi nama Gunung Jayagiri, karena dinding kalderanya melingkar di kawasan Jayagiri. Gunung Jayagiri terbangun antara 560.000 – 500.000 tahun yang lalu.
Menurut MNK setelah Gunung Pra-Sunda (Gunung Jayagiri, penulis) membentuk kaldera, 300.000 tahun kemudian baru lahir Gunung Sunda dari kalderanya. Dalam penelitian MNK, Gunung Sunda tercatat meletus sebanyak 13 kali, dan kaldera Gunung Sunda yang berukuran 6,5 x 7,5 km. itu terbentuk antara 200.000 – 180.000 tahun yang lalu.
Dari kaldera Gunung Sunda inilah lahir Gunung Tangkubanparahu. MNK membagi dua kategori letusan gunung ini, yaitu: Pertama letusan Gunung Tangkubanparahu tua antara 105.000 – 10.000 tahun yang lalu sebanyak 30 kali letusan dan kedua letusan Gunung Tangkubanparahu muda antara 10.000 – 50 tahun yang lalu yang meletus 12 kali.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunung api menjadi 9 tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya mengembuskan fumarola hingga derajat 9 yang melontarkan material gunung api lebih dari 100 km3. Bila sebuah gunung api mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10 – 100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan delapan. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada fase pertama dalam pembentukan kalderanya telah melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60 persennya saja, sebab tidak menghitung yang menghilang diterbangkan angin ke berbagai penjuru dunia. Bila yang 40 persen lagi dihitung, maka jumlahnya akan mencapai 110 km3.
Sebagai bandingan, pada tahun 1963 Gunung Krakatau meletus dengan mengembuskan volume sebanyak 0,00030 km3 dan tetusan tahun 1973 volumenya sebanyak 0,012 km3. Sedangkan Letusan dahsyat Gunung Krakatau 1883 melontarkan material gunungapi sebanyak 18 km3 atau setara dengan 21.547,6 bom atom. Sedangkan letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghembuskan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX, atau setara dengan 171.428,6 bom atom (K. Kusumadinata, 1979).
Letusan dahsyat Gunung Sunda sedikitnya terbagi menjadi dua episode letusan utama. Letusan episode pertama mengeluarkan lava, yang terjadi 1,1 juta tahun yang lalu, dan episode kedua, letusan yang telah mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, diperkirakan terjadi antara 205.000 – 180.000 tahun yang lalu.
Pada letusan dahsyat Gunung Sunda episode kedua, piroklastika-nya dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara dengan kayunya yang besar terkubur bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya, tak terkecuali hewan vertebrata besar seperti badak, rusa, kijang, dan hippopotamus (kuda nil) yang sedang berada di lembah atau rawa-rawa di selatan Rajamandala, yang jaraknya + 35 km. dari pusat letusan. Arang kayu seukuran drum dapat ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, yang kini sudah ditutup. Di sana terdapat pohon-pohon yang melintang serah datangnya awan panas yang telah mengarang.
Dari fosil badak dan hippopotamus yang ditemukan di tebing Citarum sebelah barat daya Bandung, di Baribis Subang, dan di Tambaksari Ciamis, menunjukkan bahwa binatang raksasa ini pernah hidup di Tatar Sunda.
Perjalanan binatang tersebut karena di kawasan lintang tinggi saat itu membeku, suhunya melebihi kemampuan binatang beserta habitatnya untuk bertahan hidup. Siklus hidrologi terputus, bukan hanya air yang ada di laut yang membeku, tapi semua air yang masih ada di darat semuanya membeku, sehingga volume air laut semakin berkurang. Ketika rumput dan sumber makanan lainnya tertimbun es dan mati, maka nalurinya menuntun hewan-hewan itu bergerak ke kawasan yang suhunya lebih hangat dan menyimpan sumber makanan yang masih berlimpah. Salah satu tujuannya adalah kawasan tropik, yang suhunya saat itu + 70 0C lebih rendah dari suhu saat ini.
Ketika terjadi pembekuan di lintang tinggi 3,5 juta tahun yang lalu itulah air laut di kawasan tropika menyusut tajam hingga puluhan meter dalamnya, yang mengeringkan laut di paparan antara benua Asia, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan. Paparan Sunda yang kering inilah yang dijadikan jalan migrasi bagi hewan vertebrata seperti stegodon, badak, rusa, kijang, kerbau, kuda nil, gajah purba, dan yang lainnya, kemudian diikuti oleh migrasi homoerektus hingga manusia prasejarah ke Tatar Sunda.
Binatang vertebrata yang bermigrasi itu ada yang terus mendaki hingga ketinggian 700 m. dpl. dan sampai di Cekungan Bandung. Dari data yang tersingkap di tebing Citarum, ditemukan fosil binatang vertebrata dalam timbunan material lepas dari letusan Gunung Sunda. Fakta ini dapat memberikan petunjuk, bahwa hewan-hewan besar itu masih hidup hingga terjadi letusan mahadahsyat Gunung Sunda.
Dari singkapan tebing di Ci tarum, Umbgrove dan Stehn (1929) menulis tentang penemuan fosil vertebrata. Fosil vertebrata itu oleh R.W. van Bemmelen (1936) direkonstruksi secara geologis dengan kejadian bumi Bandung, dihubungkan dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. Selain van Bemmelen, pada tahun 1956 Th. H.F. Klompe pun menguraikan keadaan geologi Bandung dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. R.W. van Bemmelen dan Th. H.F. Klompe menyebutkan adanya hippopotamus yang mati lemas terkubur piroklastika letusan Gunung Sunda.
Perlu ada penelitian-penelitian lanjutan, seperti penelitian serbuksari dan iklim purba, sehingga dapat ditafsirkan bagaimana pengaruh letusan ini pada kehidupan hutan dan segala isinya, serta adakah pengaruhnya pada perubahan iklim secara lebih luas dan kehancuran ekosistem termasuk binatangnya?
Terbendung material letusan G. Sunda
Sebagai bandingan, bila Gunung Tangkubanparahu sebagai anak Gunung Sunda, atau cucu Gunung Jayagiri meletus nanti, daerah bahayanya hanya seluas 74 km2, serta daerah waspadanya seluas 149,8 km2. Bila letusannya besar, laharnya akan membanjir hingga daerah waspada mengikuti lembah, paling jauh mengikuti Cikapundung hingga jarak + 20 km dari pusat letusan. Hal ini dapat menjadi pembanding, betapa dahsyatnya letusan Gunung Sunda pada periode prasejarah, mampu mengubur apa saja yang ditimpanya dalam radius yang sangat luas dan seketika.
MNK membagi letusan Gunung Sunda itu menjadi tiga fase, pertama fase ignimbrite yang terjadi 105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3 mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, dll. Kedua fase freatomagmatik yang melontarkan volume sebanyak 1,71 km3, dan ketiga adalah fase plinian dengan melontarkan material gunung api sebanyak 1,96 km3.
Pada fase ketiga ini material vulkaniknya mendapat tekanan yang sangat tinggi, sehingga mampu dilontarkan ke angkasa membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payungnya sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7 km. Belum terhitung debu yang melayang-layang mengelilingi angkasa dan jatuh dibelahan bumi yang sangat jauh, yang biasanya volumenya mencapai 40 persen dari total material vulkanik yang dilontarkan.
Dari data tersebut di atas, bahwa letusan Gunung Sunda fase pertama yang terjadi 105.000 tahun yang lalu yang melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3 dan menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa tidak mungkin material vulkanik sebanyak itu tidak menutup aliran Citarum Purba! Saya berkeyakinan, material Gunung Sundalah yang telah membendung Citarum Purba di utara Padalarang, yang sisa sungainya kini disebut Cimeta.
Jadi, jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu lahir, Danau Bandung Purba sudah lama terbentuk! Mudah-mudahan para ahli geologi, ahli fosil, ahli palinologi, ahli iklim purba, ahli geografi dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk menyingkap sejarah bumi Bandung lebih akurat lagi!
Sesuai kronologi sakakala sang kuriang!
Bila diadakan reinterpretasi sakakala Sangkuriang – Dayang Sumbi, sesungguhnya sakakala itu sudah memberikan tanda-tanda itu. Mari kita lihat kronologi sasakala, khusus pada fase pembendungan dan kejadian Gunung Tangkubanparahu.
Pertama Sangkuriang menebang pohon lametang raksasa dan roboh ke barat. Tunggulnya membentuk Bukit Tunggul, dan rangrangan, sisa dahan, ranting dan daunnya membentuk Gunung Burangrang. Ditafsirkan kedua kerucut ini hanyalah gunung api parasiter dari gunung api yang lebih besar, yaitu Gunung Sunda. Batang pohon itu menjadi bakalan perahu yang akan dibuatnya.
Setelah pohon ditebang (setelah gunung api parasiter terbentuk), Sangkuriang pergi untuk membendung sungai, agar tergenang menjadi danau yang kelak akan dijadikan tempatnya berlayar memadu kasih dengan Dayang Sumbi, sesuai dengan kesepakatan awal antara keduanya. Dapat ditafsirkan, upaya pembendungan sungai dilaksanakan jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu terbentuk.
Setelah sungai dibendung, Sangkuriang melanjutkan mengerjakan batang kayu itu menjadi perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai ngamprah, mulai tergenang, dan betapa girangnya Sangkuriang. Fantasinya berlayar bersama Dayang Sumbi memberikan semangat untuk terus membuat perahu.
Namun sebaliknya bagi Dayang Sumbi. Dalam hati Dayang Sumbi berkata, “Wah, kalau begini akan celaka jadinya!” Dayang Sumbi mengambil daun kingkilaban tujuh lembar, lalu dibungkus dengan kain putih hasilnya menenun. Daun yang dibungkus itu dipotong-potong halus, lalu ditaburkan ke arah timur sambil memanjatkan permohonan:
Jampi saya, si urung gunung,
Kayu Lametang urung dibuat perahu,
Ci Punagara urung dibendung,
Bukan kehendak Sang Kuriang,
Tapi kehendak Dayang Sumbi,
Jadi, TIDAK!
Jadi, TIDAK!
Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!.
Karena Yang Mahakuasa memayungi makhluknya yang selalu bersih hatinya, seketika itu di ufuk timur fajar menyingsing, cahaya membersit pertanda matahari akan segera terbit. Betapa leganya perasaan Dayang Sumbi. Namun tidak bagi Sangkuriang yang sedang bekerja habis-habisan menyelesaikan perahunya. Begitu melihat cahaya matahari membersit, Sangkuriang marah dan kesal tiada bandingannya.
Dengan kemarahan dan rasa kesal yang memuncak, Sang kuriang menendang perahu yang hampir rampung dibuatnya itu dengan rasa frusrtasi yang mendalam. Maka jadilah Gunung Tangkubanparahu.
Laksana kilat, Dayang Sumbi berlari ke arah timur. Secepat kilat itu pula Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang terus berlari menghindari kemarahan dan harapan Sangkuriang. Di sebuah bukit kecil, hampir saja Dayang Sumbi tertangkap, namun Yang Maha Kuasa masih melindunginya. Nyai Dayang Sumbi menghilang entah ke mana. Di bukit tempat menghilangnya Nyai Dayang Sumbi tumbuh berbagai bunga yang mewangi, kini disebut Gunung Puteri. Dapat ditafsirkan bahwa Gunung Tangkubanparahu lahir jauh sesudah danau itu terbentuk!
Sasakala Sangkuriang yang sudah sangat tua umurnya, sudah dikenal pada abad ke-15. Hal ini dapat dibaca dalam catatan Bujangga Manik, tohaan, satria pengelana dari Pajajaran saat melintas di pinggiran Cekungan Bandung bagian selatan. Bujangga Manik menulis, “Leumpang aing ka baratkeun, datang ka Bukit Patenggeng, Sasakala Sangkuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan” (lihat Teuw dan J. Noorduyn).
Cagar bumi
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Sunda merupakan keragaman bumi/geodiversity yang baik bila dijadikan laboratorium lapangan untuk pembelajaran bagi para siswa dan mahasiswa. Di sana mereka bisa belajar tentang pengangkatan daratan, pelipatan kulit bumi, kegunungapian, seperti tentang: lava, bahan lepas, kekuataan letusan, sumbermata air panas, patahan/sesar, gempabumi. Di sana juga bisa belajar paleontologi, geohidrologi, pola aliran sungai, kesuburan lahan, pertanian, peternakan, dan pemanfaatan bentang alam gunung api sejak zaman megalitikum hingga kini, baik untuk kepentingan religi ataupun untuk mengais rezeki dan rekreasi.
Apakah keragaman bumi Bandung ini akan dimanfaatkan dengan baik, ataukah akan dihancurkan karena kelaparkuasaan dan kemegaserakahan?***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 4 Nopember 2006
Sangiang Tikoro Bukan Tempat "Bobolnya" Danau Bandung Purba
Sanghyang Tikoro merupakan sungai bawah tanah yang berada di jajaran perbukitan kapur.
BILA kita memasukkan lidi ke mulut Gua Sangiangtikoro, lalu lidi terbawa masuk ke dalam, konon akan terdengar jerit kesakitan. Cerita ini mengumpamakan seperti tikoro (tenggorokan) yang sakit jika kemasukan duri.
Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh yang maha besar. Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat maestro geologi van Bemmelen percaya pula sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Van Bemmelen yang sangat kagum pada sakakala Sangkuriang itu, melihat ada kesamaan urutan kejadian antara sakakala dengan proses geologi Bandung. Tak ayal lagi pendapat suhu ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili, sehingga semua guru lulusan B-1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia memercayai pula bahwa Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan Indonesia, sehingga sampai sekarang pun orang tetap masih meyakini Danau Bandung Purba bobol di Sangiangtikoro.
Aliran Citarum itu bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, seperti sungai terbuka biasa, yang satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan gua batu kapur Pasir Sangiangtikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Tenggorokan dalam bahasa Sunda adalah tikoro. Maka, tempat penyayatan air di daerah batu kapur selatan Rajamandala itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiangtikoro.
Batuan di Sangiangtikoro disebut batu gamping, batu kapur, atau batu karang. Batuan kapur memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak setipis selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik, kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut. Sekira 23 juta tahun yang lalu, Pulau Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang koral mengendap di laut dangkal yang jernih antara Tagogapu Rajamandala – Palabuanratu.
Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Batuan ini dapat larut dalam air yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) yang berasal dari atmosfer, yang pada umumnya terdapat di semua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiangtikoro adalah hasil proses pelarutan sehingga dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.
Pada 2002 Budi Brahmantyo dari Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) meneliti geomorfologi di daerah Padalarang dan Rajamandala hingga Saguling untuk memperbaiki sejarah bumi Bandung. Dia menyimpulkan bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya Danau Bandung Purba!
Danau Bandung Purba
Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun pembentukan danau semakin sempurna karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung.
Air semakin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan paras air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di timur hingga Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran di selatan.
Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno – Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.
Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Pada tahun 1959 sesungguhnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis:
“… Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak di antara gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.), sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang sekarang, dengan demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan menentukan tinggi permukaan air paling atas…
Namun sayang laporannya itu kurang mendapat tanggapan yang baik dari para ahli. Budi Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI, Jakarta, menjelaskan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersentuhan dengan Sangiangtikoro.
Dalam tulisan itu disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan melalui hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.
Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300 – 400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.
Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh muka air tanah.
Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang Tengah yang berupa batuan intrusif yang muncul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya terdiri dari batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur akhirnya menyusut pula.
Curug Jompong merupakan tempat yang mudah dijangkau bila dibandingkan dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri. Di sana terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kokoh, dan mengagumkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.
Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air yang sangat halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya tempat tersayatnya batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja, yang kemudian tersayat oleh kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung Purba itu menembus batuan.
Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang lalu. Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.
Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m. atau 712,5 m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui. Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat tempat penglepasan, yang menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.
Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut itu menjadi “pisau” tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.
Pada saat Danau Bandung Purba barat surut, keadaan Danau Bandung Purba timur masih tergenang, karena sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Jadi, Danau Bandung Purba barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba timur, tapi surut lebih awal.
Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba menyusut 16.000 tahun yang lalu.
Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah menuliskan dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum di sekitar Curug Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian, ditelantarkan, padahal dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang!***
(T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).
Langganan:
Postingan (Atom)