Minggu, 15 September 2013

Si kabayan di Cukur

Si Kabayan Dicukur Si Kabayan teh kandulan pisan. Ari kandulan teh jahe alias jago he-es (beuki sare). Teu kaop nyangkere atawa nyarande sok ker wae kerek. Sakali mangsa si Kabayan teh dicukur. Dicukurna handapeun tangkal gede di sisi jalan Supratman. Ari tukang cukur teh ruruntuk dalang. Tadina hayang jadi dalang tapi teu kataekan. Kalah jadi tukang cukur. Teu wudu payu nyukurna teh da eta ari nyukur sok bari ngadalang. Si Kabayan tibarang gek diuk dina korsi panyukuran geus lelenggutan wae nundutan. Saperti biasa tukang cukur teh ari ceg kana gunting jeung sisir tuluy wae ngabuih… Ngadalang. Pokna teh, “Tah kacaturkeun di nagara Alengka, rajana jenengan Dasamuka. Ari dasa hartina sapuluh. Ari muka eta hartosna beungeut atanapi raray…" [baca dongeng bahasa Sunda disini] Si Kabayan nu keur ngalenggut ngarasa kaganggu kunu keur ngadalang, bari heuay si Kabayan nyarita, “Pondokeun wae Mang…” Trek-trek tukang cukur teh ngaguntingan buuk si kabayan bari pok deui, ”Ari geus kitu… eta Dasamuka teh bogoh ka Dewi Sinta, geureuhna Sri Rama… ” “Pondokeun wae Mang…”ceuk si Kabayan nyaritana selang seling antara inget jeung heunteu bakating ku tunduh. Teu lila reup deui sare. Lilir sakeudeung, tukang cukur teh keur ngadongeng keneh, ”Urang tunda Dewi Sinta nu keur di Alengka, sabab dipaling ku Rahwana…. caturkeun sri Rama….” si Kabayan asa kaganggu sarena terus nyarita bari lulungu, “Pondokeun Mang….” Terus reup deui peureum. Trek..trek tukang cukur ngaguntingan buuk si Kabayan bari nuluykeun ngadongengna. Ari tiap si kabayan lilir, tukang cukur teh keur ngabuih keneh wae ngadalang. Tapi ari leungeunna mah tetep teu eureun-eureun ngaguntingan buuk si Kabayan. Si Kabayan keuheuleun pisan sabab sarena kaganggu ku sora tukang cukur, nu sakapeung sok ngagerem nurutan sora buta atawa ngajerit nurutan sora Dewi Sinta basa dipaling ku Rahwana. Antukna si Kabayan ngambek ka tukang cukur bari nyarita ”Ceuk aing ge pondokeun…pondokeun…” tukang cukur nembalan “Dipondokeun kumaha ieu geus lenang kieu..” ari ret si Kabayan kana eunteung enya wae sirahna geus gundul teu salembar-lembar acan, puguh wae si Kabayan teh ambek, “Nu dipondokeun teh dongeng maneh lain lain buuk aing…” si Kabayan morongos. Tukang cukur nembalan bari nyentak, “Bongan sorangan, naha atuh sare wae batur digawe teh, lain nuhun diembohan ku dongeng teh…” Ngan hing wae si Kabayan teh ceurik bakating ku handeueuleun jaba ari balik ku barudak dipoyokan bari di abring-abring “…penjol….penjol….” *) Dongeng bahasa Sunda ini diceritakan osholin.wordpress.com

Rabu, 27 Februari 2013

Lutung Kasarung

Written by Mang Kabayan Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah legenda masyarakat Sunda yang menceritakan tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama. Legenda Lutung Kasarung Prabu Tapa Agung menunjuk Purbasari, putri bungsunya sebagai pengganti. "Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun tahta," kata Prabu Tapa. Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya diangkat menggantikan Ayah mereka. "Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda memilih aku sebagai penggantinya," gerutu Purbararang pada tunangannya yang bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya alasan untuk mengusir adiknya tersebut. "Orang yang dikutuk seperti dia tidak pantas menjadi seorang Ratu !" ujar Purbararang. Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan. Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, "Tabahlah Tuan Putri. Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama Putri". "Terima kasih paman", ujar Purbasari. {mosimage}Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga bunga yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya. Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil, airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum. {mosimage}Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk mandi di telaga tersebut. "Apa manfaatnya bagiku ?", pikir Purbasari. Tapi ia mau menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali. Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut. {mosimage}Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka, ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. "Siapa yang paling panjang rambutnya dialah yang menang !", kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari lebih panjang. "Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini tunanganku", kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, "Jadi monyet itu tunanganmu ?". {mosimage}Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu akhirnya mereka semua kembali ke Istana. Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya. Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud seekor lutung. Sumber:http://www.e-smartschool.com Film Lutung Kasarung: Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia. Film bisu ini dirilis pada tahun 1927 oleh NV Java Film Company. Disutradarai oleh dua orang Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp dan dibintangi oleh aktor-aktris pribumi, pemutaran perdananya di kota Bandung berlangsung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927 di dua bioskop terkenal Elite dan Oriental Bioscoop (Majestic). Cuplikan Article Tentang Refleksi Kebudayaan di Tengah ”Dunia yang Berlari” Oleh BAMBANG Q-ANEES, Pikiran Rakyat Jika mencermati krisis kebudayaan kita, yang sebenarnya dihasilkan oleh jenis rasio model Odysses, maka penggunaan simbol Odysses kuranglah tepat. Jawaban-jawaban pragmatis, praktis, dan metodis sudah terbukti tidaklah berhasil menyelesaikan masalah. Seperti dikemukakan Einstein "apa yang menyebabkan masalah, tak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah". Kita memerlukan rasio yang sanggup meladeni dunia yang terus berlari ini. Yang bisa tetap kritis sambil bertahan pada pegangan tertentu. Kenapa Saini tak menggunakan tokoh Mundinglaya Dikusuma atau Lutung Kasarung yang juga sama-sama menawarkan kisah "Setiap kali ia mengatasi suatu masalah, muncul masalah baru. Kalau masalah baru dipecahkannya, muncul lagi masalah yang lain"? Lutung Kasarung menampilkan cara menjawab yang berbeda, ia tidak sekadar menyelesaikan masalah untuk menimbulkan masalah sampai tak terbatas, infitum. Ada akhir dan ada rujukan "langit" yang ia gunakan. Pada kisah pantun ini kita menemukan sebuah cara yang seperti "menerobos ke dalam sebab-sebab umum di luar sebab-sebab khusus", Lutung Kasarung juga seperti berupaya mentransendensi semua metode yang lazim saat itu. Pada kisah Lutung Kasarung kita menemukan kesadaran akan kodrat tropisme, bukan kodrat keperkasaan macam Odysses yang justru seluruh pengalamannya merupakan kutukan atas keperkasaannya. Tropisme atau kerinduan akan cahaya, kepada sinar yang memendam isyarat, kepada matahari yang melintas ke arah finalitas, semua hal; dan kepada matahari yang terbit dari asal hal-hal itu. Jawaban model Lutung Kasarung mengarahkan kita ke sumber dan ke tujuan dan bersembunyi di bawah tepian dunia. Dalam banyak hal model Lutung Kasarung memiliki ciri yang mirip dengan rasio spekulatif yang "membawa kebaruan imajinatif yang tetap relevan namun sekaligus mengungguli cara-cara tradisional". Melalui model jawaban Lutung Kasarung saya membayangkan adanya pertalian mendalam antara daya kritis dengan Kesadaran Religius. Kesadaran yang mengandaikan kemampuan mengambil jarak dengan lingkungan sosial sekaligus kemampuan untuk menemukan hal-hal permanen dan masuk akal dalam sejarah dan dalam dunia, yang bisa dipakai untuk menafsirkan detil-detil langsung yang centang perentang. Melalui daya kritis dan kesadaran religius ini kita dapat menemukan titik buta atau sementara dari metode yang selama ini kita gunakan dalam menyusun kebudayaan, sekaligus titik terang yang bisa dikembangkan bagi dunia masa depan. Dengan cara ini pula, kritik tidak menghabisi semua hal, justru menggunakan bahan yang ada bagi pengembangan masa depan. Whitehead dalam Symbolism Its Meaning and Effect menyatakan, "Masyarakat-masyarakat yang tak bisa memadukan rasa hormat kepada lambang-lambangnya dengan kebebasan untuk merevisi, pada akhirnya pasti akan hancur, mungkin karena anarki, bisa juga karena penyusutan perlahan-lahan dari hidup yang tercekik oleh bayang-bayang yang tiada guna". Implikasinya adalah munculnya alternatif dalam bentuk pola pikir baru dalam memandang dunia kehidupan. Alternatif penyelesaian bukan hanya reformulasi sejumlah institusi lama yang sudah ada. Saya percaya, Saini KM sebenarnya memiliki jawaban model Lutung Kasarung. Karena saya yakin ia juga sedang menggunakan model ini ketika ia mengajukan pernyataan, "keberagamaan yang sejati (autentik) tidak mungkin sejati tanpa membumi dan menyejarah, dengan kata lain membudaya. Ini membawa akibat (implikasi) lain, yaitu bahwa keberagamaan yang sejati (autentik) adalah keberagamaan yang kreatif. Artinya, keberagamaan yang senantiasa terbuka kepada perubahan (ruang dan waktu) dan senantiasa berupaya menyesuaikan diri kepada perubahan tanpa kehilangan hakikat religiusnya, yaitu aspirasi spiritualnya". Kutipan ini membuktikan keinginannya untuk tetap kritis sambil tetap bertahan. Walaupun demikian, saya pribadi tak memahami kata "menyesuaikan diri" dalam kutipan ini. Kata "menyesuaikan" terkesan metodis dan pragmatis padahal kita membutuhkan lebih dari pragmatis, bahkan jenis ikan tertentu berupaya melawan arus sungai agar ia dapat memperpanjang generasinya. Ala Kulli Hal, refleksi kebudayaan Saini KM memberikan kesegaran tertentu bagi saya. Semua pembacaan ini bisa jadi, dan sangat mungkin, berasal dari kedhaifan saya membaca hal ihwal tulisan Saini KM. Karena dalam tradisi Sunda ada sejumlah syarat pembacaan: nu apal ka basana, weruh ka semuna, rancage hatena, dan rancingas hatena. Saya pastilah tak tahu basa, apalagi memahami semu; saya juga bukan orang yang memiliki hate yang rancage, apalagi rasa yang rancingas.*** http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0904/18/khazanah/index.htm

Si Kabayan

Written by Mang Kabayan Kabayan merupakan tokoh imajinatif dari budaya Sunda yang juga telah menjadi tokoh imajinatif masyarakat umum di Indonesia. Polahnya dianggap lucu, polos,tetapi sekaligus cerdas. Cerita-cerita lucu mengenai Kabayan di masyarakat Sunda dituturkan turun temurun secara lisan sejak abad ke-19 sampai sekarang. Seluruh cerita Kabayan juga menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang terus berkembang sesuai zaman. Rassers (1941) menilai, Si Kabayan adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari Sang Pencipta Semesta, ia juga dinilai sebagai tokoh yang mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun, tetapi juga menghambat. Ya, di dalam dirinya sifat ketuhanan dan demonis mewujud menjadi satu. Oleh karena itu, Rassers menganggap Si Kabayan adalah pahlawan budaya sekaligus tukang tipu. Tokoh Kabayan juga dapat disepadankan dengan tokoh dari Arab, seperti Abunawas atau Nasrudin. Karya Sastra dan Film Buku (id) Si Kabayan, Utuy Tatang Sontani (1959) (id) Si Kabayan Manusia Lucu, Ahdiat Karta Miharja (1997) (id) Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang, Ahdiat Karta Miharja (id) Si Kabayan: dan beberapa dongeng Sunda lainnya, Ayip Rosidi (1985) (id) Si Kabayan jadi Wartawan, Muhtar Ibnu Thalab (2005) (id) Si Kabayan jadi Dukun, Moh. Ambri (id) Kabayan Bikin Ulah (2002, komik kompilasi) Film Si Kabayan Si Kabayan Mencari Jodoh (1994) Si Kabayan Saba Kota Si Kabayan dan Gadis Kota Si Kabayan Saba Métropolitan Si Kabayan: Bukan Impian (2000) Informasi tentang Sikabayan dari Koran Pikiran Rakyat: Si Kabayan, dari Buku ke Buku Rassers (1941) menilai, Si Kabayan adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari Sang Pencipta Semesta, ia juga dinilai sebagai tokoh yang mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun, tetapi juga menghambat. Ya, di dalam dirinya sifat ketuhanan dan demonis mewujud menjadi satu. Oleh karena itu, Rassers menganggap Si Kabayan adalah pahlawan budaya sekaligus tukang tipu. SI Kabayan (SK) manusia lucu itu banyak diketahui orang. Tokoh kita ini memang dikenal suka berkelakar, humoris, lugu, tetapi juga kadang-kadang direpresentasikan sebagai orang yang pandai. Sepanjang kelahirannya, Si Kabayan selalu dihidup-hidupkan orang, tentu saja sesuai dengan keinginan dan kepentingan si pengarangnya. Sebagian bahkan memercayainya sebagai bukan tokoh fiktif. Menurut orang yang percaya, makam Si Kabayan ada di Banten. Di dalam dongeng-dongeng lama, SK biasanya digambarkan sebagai orang kampung yang lingkungan pergaulannya terbatas di sekitar istrinya (kita kenal kini sebagai Nyi Iteung), kedua mertuanya, dan majikannya. Tetapi dalam dongeng-dongeng yang diciptakan orang sekarang, ia pun kadang-kadang hidup di kota. Tetapi walaupun begitu, tetap saja digambarkan dengan memiliki sifat-sifat orang kampung. Dokumentasi Si Kabayan Sejak kapan kisah-kisah SK didokumentasikan orang? Dr. Snouck Hurgronje boleh jadi adalah orang pertama yang mengumpulkan kisahnya. Sebab antara tahun 1889-1891, orientalis asal Belanda ini mengadakan penelitian mengenai kehidupan Islam dan cerita rakyat yang ada di Pulau Jawa. Untuk mengelilingi pulau ini, ia mengajak H. Hasan Mustapa yang telah ia kenal di Mekkah pada 1885. Sebagai bukti kerja yang dilakukan Snouck, pada 1929 terbit Tijl Uilenspiegel verhalen in Indonesie in het Bizonder in de Soendalande. Buku ini berasal dari disertasi Maria-Coster Wijsman, yang pembahasannya mendasarkan pada tokoh SK yang hidup di Banten selatan. Sumber kisah-kisah dalam buku itu ia ambil dari catatan-catatan mengenai SK yang dikumpulkan oleh Dr. Snouck. Pada 1911 terbit Pariboga: Salawe Dongeng-Dongeng Soenda. Buku ini disusun oleh Cornelis Marinus Pleyte dan diterbitkan oleh Kantor Tjitak Goepernemen. Ada yang menganggap, inilah buku pertama yang memuatkan cerita SK. Berikutnya, 21 tahun kemudian, pada 1932, Balai Pustaka menerbitkan buku Si Kabajan. Buku ini disusun berdasarkan dongeng-dongeng yang ada dalam penelitian Maria-Coster Wijsman. Entah apa alasannya, dongeng-dongeng dalam disertasi terdahulu itu dipilih lagi. Beberapa dongeng yang berbau seks kemudian dibuang. Pada tahun yang sama, terbit Si Kabajan Djadi Doekoen karya Moh. Ambri. Karya ini dianggap sebagai saduran dari salah satu naskah drama karya Moliere, “Le Medicin Malgre Lui”. Menginjak tahun 1941, hanya ada satu judul buku yang terbit mengenai SK. Buku berjudul Kabajan itu disusun oleh W.H. Rassers dalam bahasa Belanda. Selanjutnya Utuy T. Sontani menulis drama “Si Kabayan” dalam bahasa Indonesia dan bukunya diterbitkan pada 1959. Naskah yang sama diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, menjadi Si Kabaian (1960). Sembilan tahun kemudian, kisah ini diterbitkan dalam bahasa Inggris dan disatukan bersama karya pengarang lainnya dari negara luar dalam “Three SEAsian Plays”, yang merupakan suplemen dari berkala Tenggara. Yang penting dicatat, pada tahun '60-an itu paling tidak ada lima karya Min Resmana yang berkaitan dengan kisah-kisah SK. Karya-karya yang dimaksud adalah Si Kabajan Pangantenan (1966), Si Kabajan Kasurupan (1966), Si Kabajan Ngandjang Kapageto (1966), Si Kabajan djeung Raja Manaboa (1966), dan Si Kabajan Tapa (1967). Sementara itu sastrawan senior Sunda, MA. Salmun, menerbitkan Si Kabajan Moderen (1965). Pada era 1970-an, hanya dua judul buku yang tercatat yang kembali menghidupkan Si Kabayan. Pertama, Tales of Si Kabayan yang disusun oleh Murtagh Murphy dan diterbitkan oleh Oxford University Press, pada 1975. Yang kedua, Si Kabayan dan Beberapa Dongeng Sunda Lainnya (1977) karya Ajip Rosidi. Era 1980-an ada sekitar lima judul yang terbit. Dua di antaranya karangan MO Koesman, yaitu Si Kabayan (1980) dan Si Kabayan Ngalalana (1982). Sementara itu Adang S. menulis Juragan Kabayan pada 1986. Lainnya, Lebe Kabayan (1986) karya Ahmad Bakri dan Si Kabayan Tapa (1986) karya Min Resmana. Pada tahun (1990), Si Kabayan “meninggal” dunia. Karena itu terbit Jurig Kabayan karya Tini Kartini. Akan tetapi, pada 1997 Si Kabayan dihidupkan lagi lewat Si Kabayan Manusia Lucu buah tangan Achdiat K. Mihardja. Di tempat lain, tepatnya dalam buku Asian Tales and Tellers (1998) susunan Cathy Spagnoli, Si Kabayan pun muncul. Tak ketinggalan, Gerdi W.K. juga ikut menghidupkan kembali Si Kabayan (1999). Memasuki era tahun 2000-an, buku-buku mengenai SK pun tetap bermunculan. Bisa disebutkan, Si Kabayan-Cerita dari Sunda (2000) karya Citra, Kabayan Bikin Ulah (2002) dan Si Kabayan Jadi Sufi (2003) susunan Yus R. Ismail, serta Si Kabayan (2004) karangan Mulyani S. Yeni. Kemudian, Si Kabayan Digugat (2004) karya Yuliadi Soekardi & U Usyahuddin, Si Kabayan Nongol di Zaman Jepang (2005) susunan Achdiat K. Mihardja, dan, yang terakhir, Si Kabayan Jadi Wartawan (2005) karya Muhtar Ibn Thalab. Pendapat Mengenai Si Kabayan Berdasarkan catatan Sutaarga (1965), ada beberapa pendapat atau penelitian yang telah dilakukan baik oleh kaum kolonialis maupun pribumi terkait dengan Si Kabayan. Pertama, tentu saja yang dilakukan oleh Ny. Maria Coster Wijsman (1929) yang memperbandingkan keberadaan SK dengan siklus tokoh cerita rakyat Eropa, Tijl Uilenspiegel. Wijsman mengartikan Kabayan sebagai semacam pamong desa yang bertugas menyampaikan berita. Istilah tersebut masih dipakai di daerah Jawa dan Tanganan Pangringsingan. Ia juga menghubungkan istilah tersebut dengan orang yang biasa memimpin acara kenduri dalam tokoh-tokoh cerita Melayu. Sementara itu Prof. Berg meneliti arti kabayan dari sisi etimologinya. Menurut Berg, kata kabayan berasal dari bahasa Sanskerta, bhaya yang artinya takut. Hal ini sesuai dengan gambaran Kabayan versi Tanganan Pangrisingan yang harus memiliki sifat "magis". Kedua, istilah kabayan diambil dari kata dasar bay yang berarti wanita. Hal mana sesuai dengan nama Ken Bayan dalam cerita-cerita Panji. Rassers (1941) menilai, SK adalah tokoh ambivalen. Selain sebagai penghubung dan pewarta dari Sang Pencipta Semesta, ia juga dinilai sebagai tokoh yang mewakili totalitas dan kekuatan masyarakat yang bersifat membangun tetapi juga meghambat. Ya, di dalam dirinya sifat ketuhanan dan demonis mewujud menjadi satu. Oleh karena itu, Rassers menganggap SK sebagai pahlawan budaya sekaligus tukang tipu. Kemudian Held (1951), yang memperbandingkan SK dengan panakawan dari lakon-lakon wayang Jawa khususnya dari segi fungsi lelucon-leluconnya. Dari tanah air, Utuy T. Sontani (1920-1979) ikut meneliti Si Kabayan. Pengarang ini pada tahun 1957 mengungkapkan bahwa SK merupakan “manusa anu geus teu nanaon ku nanaon”. Maksudnya, SK telah menjelma menjadi manusia yang terlepas dari beragam rasa yang bisa memengaruhi manusia. Artinya, ia telah menjadi ubermensch, istilah Nietzsche. Walaupun begitu, dalam naskah dramanya Utuy menggambarkan SK sebagai dukun yang dianggap sakti, padahal ia hanya mempermainkan pasien-pasiennya. Sementara itu, Ajip Rosidi (1964) berpendapat bahwa di balik kisah SK terkandung maksud tertentu. Menurut Ajip, SK bukanlah orang yang bodoh, sebab banyak cerita-cerita SK yang sering mempermainkan mertuanya serta kiai. Kiai tersebut bisa jadi personifikasi ulama, sedangkan SK merupakan personifikasi orang Sunda. Dan Islam masuk ke Tatar Sunda setelah runtuhnya kerajaan Sunda. Ya, dengan demikian sastrawan Sunda yang menciptakan cerita SK sebenarnya sedang menyampaikan kritik melalui jalan yang halus berupa lelucon. Dalam seminar yang bertajuk “Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global” (23-24 April 2004) lewat makalahnya yang berjudul “Si Kabayan: Cawokah atau Jorang?”, Ayatrohaedi menitikberatkan perhatiannya pada cerita-cerita SK yang berbau seks. Bisa dimengerti, Ayatrohaedi mendasarkan tulisannya pada buku Maria-Coster Wijsman, Tijl Uilenspiegel verhalen in Indonesie in het Bizonder in de Soendalande yang memang banyak memuat kisah-kisah SK yang berbau seks. Menurut Ayat, "dari sekitar 80 kisah Si Kabayan yang dijadikan bahan disertasi Coster-Wijsman, terdapat 24 kisah yang berkenaan dengan seks. Kisah-kisah itu mengandung kata-kata "tabu", walaupun sekali lagi ternyata tidak menimbulkan kesan erotis. Jika dikaitkan dengan teks dan konteks, akan dengan mudah dipahami mengapa hal itu terjadi." Sementara Jakob Sumardjo (2003) menilai SK dari aspek primordialisme orang Sunda. Ia menilai bahwa "Si Kabayan berwatak paradoks, pintar, dan bodoh sekaligus. Ia pintar kalau kepentingannya sendiri terganggu, tetapi ia bodoh kalau sedang dikuasai oleh nafsu-nafsunya. Ini menunjukkan kewajaran orang Sunda untuk mentertawakan dirinya sendiri, kelemahan diri, dan kelemahan manusia umumnya." “Di orang Sunda berkumpul,” kata Jakob, “di situ ada tertawa. Rupanya humor berhubungan juga dengan masalah ‘dalam’. Sasaran humor adalah mereka yang sudah dimasukkan sebagai bagian dari lingkungan sendiri." Sedangkan Bambang Q Anees (2002) berpendapat bahwa SK merupakan tokoh fiksi yang diciptakan sebagai penghibur atawa kurir filosofi hidup orang Sunda. SK sebagai kurir berfungsi sebagai metafor: menyampaikan sekaligus mereduksi pesan. Kemudian menurut Bambang, "ketawalah yang menjadi inti dari sosok Si Kabayan." Kemudian ia pun mempertautkan SK dengan konsep pencerahan ala Tao. Dari sisi ini, "tertawa" dimaknai sebagai "penemuan kepahaman akan suatu lelucon secara begitu cepat. Pada saat itu kita seperti menemukan rantai kebenaran yang selama ini terlepas." Nah, pada titik inilah, menurut Bambang, "Kabayan memainkan dirinya sebagai pemancing ketawa demi pencerahan tertentu." Apa pun gambaran dan pendapat orang mengenai sosok SK, cerita-ceritanya mencerminkan khazanah kebudayaan Sunda yang memang kaya warna.*** ATEP KURNIA Penulis lepas, tinggal di Bandung Source: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/07/khazanah/index.html

Mundinglaya Dikusumah

Written by Mang Kabayan Ini legenda, bukan sejarah. Suatu ketika, sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara untuk mencari jimat salakadomas. Tak ada yang tahu apa yang melatari penyelenggaraan sayembara itu. "Yang jelas, siapa saja yang berhasil menemukan jimat tersebut, bakal dinikahkan dengan putri raja. Di antara para peserta, terdapat dua ksatria kenamaan kala itu, Mundinglaya dan Ki Jongkrang Kalapitung," tutur A. Ali Suharna (64), tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Muka Payung. Kami bertemu di dangau (gubuk) Kp. Cibitung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung, Kamis (14/6). Legenda Mulka Payung di Muka Payung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung dikelilingi gunung dengan nama tertentu. Desa itu pun sarat dengan benda cagar budaya, berupa batu beraneka bentuk. Di masyarakat, rupanya, gunung-gunung dan batu-batu itu saling bertaut membentuk sebuah cerita rakyat. Kisah tentang salakadomas. Sebuah kekayaan budaya, tentunya. Ini legenda, bukan sejarah. Suatu ketika, sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara untuk mencari jimat salakadomas. Tak ada yang tahu apa yang melatari penyelenggaraan sayembara itu. "Yang jelas, siapa saja yang berhasil menemukan jimat tersebut, bakal dinikahkan dengan putri raja. Di antara para peserta, terdapat dua ksatria kenamaan kala itu, Mundinglaya dan Ki Jongkrang Kalapitung," tutur A. Ali Suharna (64), tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Muka Payung. Kami bertemu di dangau (gubuk) Kp. Cibitung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung, Kamis (14/6). Singkat cerita, Mundinglayalah yang berhasil menemukan jimat salakadomas itu. Ia bermaksud mempersembahkan jimat tersebut kepada sang putri. Bersama seorang kawan bernama Munding Dongkol, sang ksatria mencari sang putri. "Rupanya, Ki Jongkrang tahu bahwa jimat itu sudah ditemukan Mundinglaya. Maka, ia segera mengatur siasat jahat," ujar Ali. Ki Jongkrang memasang perangkap berupa batu di aliran sungai Cibitung. Masyarakat Desa Muka Payung mengenalnya sebagai batu langkob. "Salah satu ujung batu panjang itu disangkutkan di tebing. Sementara, ujung lainnya disanggah dengan tiang batu. Kalau Mundinglaya lewat, batu itu dijatuhkan," katanya. Rupanya, perangkap itu tak berhasil menjerat Mundinglaya. Malah, Munding Dongkol yang tertangkap. Kedua batu langkob itu, hingga kini, masih ada di aliran Sungai Cibitung. "Yang satu masih utuh, sedangkan yang satu lagi sudah runtuh. Batu langkob itu menjepit batu yang mirip badan kerbau (munding -red.). Masyarakat di sini percaya bahwa itulah Munding Dongkol," ujar Ali. Ki Jongkrang tak kehabisan akal. Ia memasang cermin besar di barat yang memperlihatkan sang putri tengah tetirah di atas bukit, di bawah payung. Padahal, bukit itu sesungguhnya berada di timur. Bukit itu berada di Kampung Mulka Payung. "Diam-diam, Ki Jongkrang membuat cubluk (lubang septic tank) yang dibubulu (ditutupi) dengan dedaunan dan ranting. Mundinglaya yang gembira bakal bertemu putri, akhirnya terperosok dan tak bisa bangkit lagi," ucapnya. Tempat Ki Jongkrang meletakkan cermin (eunteung,-red.) itu, oleh masyarakat setempat, dikenal sebagai Leuwi Eunteung. Batu yang dipercaya sebagai Mundinglaya pun, hingga kini, masih ngajugrug (utuh berdiri) di sawah milik Ali Suharna. "Batu ini juga dinamakan Munding Jalu," katanya. Kecurangan Ki Jongkrang disaksikan sang putri dari puncak bukit. Sang putri lari dan bersembunyi di bukit, tak jauh dari tempat semula. Ia meninggalkan payung yang meneduhinya. Payung --yang menjadi batu-- itulah yang dikenal sebagai Mungkal (batu -red.) Payung. "Sementara, bukit tempat putri bersembunyi dinamakan Gunung Putri. Lalu, di lain waktu, seorang nakhoda bernama Demang Karancang bermaksud mempersunting putri itu, tapi tak bisa. Karena itulah, bukit di timur Gunung Putri dinamakan Gunung Karancang. Biasa juga disebut Gunung Nakhoda atau Gunung Kasep Roke," ungkapnya. Kemudian hari, ketika dimekarkan dari Rancapanggung, desa itu diberi nama Muka Payung. Soalnya, desa tersebut kadung tersohor dengan situs mungkal payung yang berada di Kp. Mulka Payung. "Ada sebuah harapan. Desa ini bisa menjadi seperti payung terkembang," ujar Ali Suharna menandaskan. (Hazmirullah/"PR")*** Source: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/062007/15/0104.htm

Amanat Galunggung

Written by Mang Kabayan Amanat Galunggung adalah nama yang diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, salah satu naskah tertua di Nusantara. Naskah ini ditulis pada abad ke-15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuna. Naskah ini berisi nasihat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke-25, Penguasa Galunggung, kepada puteranya Ragasuci (Sang Lumahing Taman). Di Kabuyutan Ciburuy, hingga kini orang menyimpan naskah-naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang ditemukan di kabuyutan itu—sebelum disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta—adalah ”Amanat Galunggung”. Nama atau judul ”Amanat Galunggung” berasal dari filolog Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah tersebut, kemudian turut mengompilasikan hasil kajiannya dalam ”Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung” (1987). Naskah ini menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda. ”Amanat Galunggung” berisi ajaran moral. Dalam naskah ini antara lain disebutkan bahwa kabuyutan harus dipertahankan. Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah. Dengan demikian, dalam tata politik dahulu kala, pusat-pusat kegiatan intelektual dan keagamaan rupanya memiliki kedudukan yang sangat penting. Kabuyutan tampaknya merupakan salah satu pilar yang menopang integritas negara, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja, bahkan dianggap sakral Berikut adalah poin-poin pokok pada halaman pertama naskah tersebut: • harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang disakralkan) • barang siapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang disakralkan akan memperoleh kesaktian, unggul perang, berjaya dan dapat mewariskan kekayaan sampai turun temurun • lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya • jangan memarahi orang yang tidak bersalah • jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu memper-tahankan tanah air pada http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=52:amanat-galunggung&catid=43:sastra&Itemid=67.

Kejayaan Pakuan Pajajaran

Written by Mang Kabayan Friday, 04 March 2011 02:59 Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai-nilai Purbatisti – Purbajati. "Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". Hal ini sejalan dengan tulisan Tome Pires didalam The Suma Oriental, tentang The Kingdom of Sunda is justly geverned – Raja Sunda memerintah secara adil. Mahakarya dari Sri Baduga diuraikan pula di dalam naskah Pustaka Kertabumi I/2. Naskah versi Cirebon ini menyebutkan, bahwa : Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 9). Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman. Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan ; membuat Talaga Maharena Wijaya ; memperteguh ibu kota ; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. Pendidikan Pembangunan yang berhubungan dengan Pendidikan pada dasarnya memadukan pembangunan watak (jati diri) dan kesejahteraan umum. Hal ini dituliskan di dalam Prasasti Kabantenan yang dibuat atas perintah langsung Sri Baduga. Saat ini baru ditemukan 4 buah keputusan yang tertera didalam 5 lempeng tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan dan pembebasan pajak (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 4). Menurut Holle, isi ringkasnya dapat diutarakan sebagai berikut : Prasasti 1 Penetapan batas lemah dasawasasana (tanah kabuyutan) di Sundasembawa Prasasti 3–4 Penetapan batas dayeuh Jayagiri dan dayeuh Sunda Sembawa dan keputusan pembebasan pajak ; Prasasti 5 Pengukuhan status lemah dasawasasana di Sunda Sembawa. Prasasti 1, 2 dan 5 berupa piteket (keputusan langsung), sedangkan Prasasti 3 dan 4 berisi tentang sakakala (tanda peringatan). Khusus untuk Prasasti 3, 4, 5 akan dibahas tersendiri mengingat para akhli menganggap prasasti ini mencerminkan tentang kepribadian Sri Baduga. Prasasti 3 dan 4 menjelaskan : //o// ong awignamastu, nihan sakakala ; rahyang nikala wastu kancana pun, turunka rahyang ningrat kancana, maka nguni ka susuhunan ayeuna di pakuan pajajaran pun mulah mo mihape Dayeuhan di jayagiri, deung dayeuhan di su(n)da sembawa, aya ma nu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryan inya, ku na dasa, calagara, kapas timbang, pare dondang, mang(k)a ditudi(ng) ka para muhara, mulah dek men – Taan inya beya pun, kena inya nu purah ngabuhaya, mibuhayakeunna ka caritaan pun, nu pageuh ngawakan na dewasanana //o// Terjemaahan : Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa. Prasasti 5 Ini piteket nu seba ka papajaran, miteketan ka kabuyuran di sun(n)da sembawa, aya ma nu ngabayuan, mulah aya numunah-munah inya nu ngaheureuyan lamu aya nu kadeu paambahan lurah sunda sembawa eta lurah kawikwan. Terjemahan : Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau mengganggu nya. Bila ada yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta. Jika dicermati peringatan yang tertera dalam Prasasti 3 dan 4 tersebut akan nampak adanya amanat dari Wastu Kancana kepada Susuhanan Pajajaran (Sri Baduga) yang disampaikan melalui Ningrat Kancana, untuk mengurus wilayah Jayagiri dan Sunda Sembawa. Jika dihubungkan dengan Prasasti 1 akan diketahui bahwa di daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat batas antara Kota dan Kabuyutuan. Sunda Sembawa didalam sejarah awal merupakan daerah asal Terusbawa, cikal bakal raja-raja Sunda. Di daerah tersebut pernah pula dijadikan ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman. Kabuyutan atau Dawasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku di dalam prasasti 1 disebut lemah larangan, yakni daerah otonom atau semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam prasasti 5 ditegaskan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati. Disekitar lemah larangan terdapat sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan (menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkinkan berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Rangan dan Sangga. Sri Baduga di dalam prasasti 3 dan 4 memerintahkan agar penduduk di kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan petugas pajak disebut Pangurang. Pare dongdang disebut panggeres reuma. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha, sedangkan Reuma adalah bekas ladang. Memang contoh untuk panggeres reuma saat ini sudah tidak ada, yang dimaksud adalah padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen, kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru. Didalam keyakinan masyarakat Sunda dimasa lalu, hasil tanah demikian milik lelembut, karena tidak ada yang mengurusnya, namun pelaksanaan panennya diwakilkan menjadi hak milik raja, sehingga padi yang tumbuh demkian selanjutnya menjadi hak raja atau penguasa setempat. Dongdang adalah alat pikul seperti tempat tidur persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dongdang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut dongdang (berayun). Dongdang biasanya digunakan untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, pare dongdang atau penggeres reuma lebih bersifat barang antaran. Kewajiban yang benar-benar harus ditunaikan adalah pajak tenaga atau dasa dan calagra, di Majapahit disebut walaghara atau pasukan kerja bakti. Didalam memenuhi dasa dan calagra dilakukan untuk kepentingan raja, diantaranya tugas untuk menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di serang ageung atau ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi. Sistem dasa dan calagara masih diteruskan pada masa para Bupati Belanda. Pada masa itu wilayah Jawa Barat sudah diserahkan Mataram kepada Belanda. Sedangkan kekuasaan Mataram di Jawa Barat didapatkan, karena adanya penyerahan begitu saja oleh Suradiwangsa kepada Sultan Agung, raja Sumedang Larang, pengganti Prabu Geusan Ulun. Sistim ini sebagai bentuk simbiosa mutualisma para Bupati dalam mempertahankan batas wilayah kekuasannya dengan kepentingan Belanda yang membutuhkan hasil bumi, konon wilayah Jawa Barat merupakan penghasil kopi terbaik. Padahal di negara Belanda sendiri tidak mengenal sistem semacam ini. Belanda memanfaatkan sistim ini untuk kerja rodi. Bentuk dasa diubah menjadi Heerendiensten, yakni bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar yang memang bertujuan untuk kepentingan Belanda dan pribadi para bupati, bukan untuk kepentingan umum seperti pada masa Sri Baduga. Disamping pajak ada pula yang disebut beya (restribusi) yang dipungut di pelabuhan, muara sungai, tempat penyebrangan dan tempat-tempat lainnya. Didalam Prasasti 3 dan 4 penduduk Sunda Sembawa dan Jayagiri dibebaskan dari seluruh pajak dan restribusi. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk mengurus kabuyutan yang terletak di keua perbatasan Jayagiri dan Sunda Sembawa. Dalam kaitan ini dapat dipahami, dengan memajukan lemah larangan atau lurah kawikwan (kawikuan), Sri Baduga memajukan pula pendidikan bagi semua kalangan melalui lembaga – lembaga binayapanti yang ada didaerah tersebut. Binayapanti yang dimaksud adalah tempat belajar atau pesantren yang ada di lemah larangan atau kabuyutan. Sama halnya dengan Kabuyutan yang dikembangkan oleh Prabu Darmasiksa dimasa lalu. Didalam membahas Kabuyutan memang seolah-olah ada beberapa perbedaan fungsi, terutama antara Kabuyutan yang dikisahkan di Galunggung, Kanekes, Sukabumi (prasasti Cibadak) dan Sunda Sembawa. Fungsi kabuyutan Sunda Sembawa dan Jayagiri adalah Kabuyutan lemah Dawasasana yang berhubungan dengan dewa-dewa. Sedangkan Kabuyutan di Kanekes, atau Sasakadomas adalah Kabuyutan Jati Sunda atau Kabuyutan Parahyangan yang berhubungan dengan para leluhur. (RPMSJB, Jilid ke 4, hal. 6). Masyarakat Sunda pada masa Pajajaran memiliki hirarki pemerintahan yang jelas. Hirarki tersebut merupakan satu kesatuan antara manusia dengan Hiyang, sehingga dapat diketahui juga tentang tingkatan Kabuyutan. Tingkatan tersebut, yakni : Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada Nanganan ; Nanganan tunduk kepada Mangkubumi ; Mangkubumi tunduk kepada Raja ; Raja tunduk kepada Dewa ; Dewa tunduk kepada Hyang. Sumber dari Prasasti Batu Tulis Karya Sri Baduga tercantum pula didalam Prasasti Batu tulis yang dibuat pada masa Surawisesa pada tahun 1455 saka atau 1533 masehi. Prasasti tersebut menerangkan sebagai berikut : ++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++ Terjemahan : Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana ; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. / Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). / dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455). Prasasti tersebut menunjukan adanya karya Sri Baduga, yakni membuat parit pertahanan ; gunung-gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat hutan samida ; dan membuat telaga Rena Mahawijaya. Namun dakam hal ini penulis hanya akan menyajikan beberapa saja. Parit Pertahanan Arti kata nyusuk lebih sering diterjemaahkan sebagai membuat Parit. Hal yang sama dilakukan oleh Tarusbawa, Banga, Hyang Batari dan Niskala Wastu Kancana yang tercantum didalam naskah maupun prasasti (Galunggung dan Batutulis). Parit ini kelak akan dicoba ketangguhannya dalam beberapa kali menghadapi serangan Banten. Konon benteng tersebut hanya dapat dijebol setelah ada pengkhianatan yang membuka pintu benteng dari dalam. Parit yang dibangun Sri Baduga bertujuan untuk melindungi Sri Bima. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh. Hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal 14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama. Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PDAM, lalu menyilang jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung. Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw. Sakakala Gugunungan Sakakala Gugunungan dimaksud merupakan tanda peringatan berupa gunung-gunungan yang letaknya diperkirakan terdapat di Badigul Rancamaya. Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Sebelum tahun 1984 bukit tersebut hampir gersang dan berbentuk seperti parabola dan tampak seperti wajan terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu dikerok sampai mencapai bentuk parabola. Badigul dimungkinan waktu itu dijadikan Bukit Punden tempat berziarah, sama dengan yang dimaksud dalam rajah Waruga Pakuan dengan Sanghiyang Padungkulan. Kedekatan telaga (diperkirakan di Rancamaya) dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi, Setu Gangga yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta - Cirebon Girang. Setelah bermandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai. Jalan Berbatu. Jalan berbatuan pernah ditemukan oleh regu ekspedisi Scipio pada tahun 1687, terletakdiantara Bogor dan Rancamaya. Hal yang sama ditemukan pula oleh Winkler (1690), tidak jauh dari prasasti ditemukan jalan berbatuan yang rapi menuju kearah Paseban dan ditandai oleh tujuh pohon beringin. Disebelah jalan tersebut diperkirakan bekas berdirinya Sri Bima. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 8). Menurut Sutaarga (1966), kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak, Beberapa kilometer kearah utara Muaraberes di kali Ciliwung dan Ciampea masih ada bekas-bekas dermaga. Posisi ini berada disebelah barat dari Pakuan. Di Kali Cisadane semestinya dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman. Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol). Samida Samida adalah hutan yang kayunya di gunakan untuk pembakaran jenasah. Jenis kayu ini hampir sama dengan cemara dan pinus yang mudah terbakar. Hutan ini diperkirakan terletak diluar Pakuan dan berada di perbukitan. Jenis kayu demikian biasanya tumbuh didataran tinggi dan bercuaca dingin, sehingga dimungkiknkan tumbuh subur di wilayah Bogor. Telaga Rena Mahawijaya Winkler pada abad ke 17 dalam penelitiannya tidak menemukan bekas telaga tersebut, dimungkinkan telah jebol pasca serangan Banten, atau memang telah hancur karena bencana alam. Kesulitan menemukan telaga ini berakibat banyaknya dugaan-dugaan. Pleyte menyebutkan, bahwa telaga yang dimaksud adalah kolam tua di Kotabatu, terletak lima kilo meter sebelah barat daya Pakuan. Sebelumnya ditemukan banyak patung disana, kemudian oleh Friederich dipindahkan ke kebon raya, namun luas kolam tersebut tidak memenuhi syarat jika disebutkan sebagai telaga. Pada masa sesudahnya, Poerbacaraka (1921) menyebutkan, bahwa yang dimaksud Telaga Rena Wijaya tersebut adalah Telaga Warna yang terletak di daerah puncak. Dugaan tersebut tidak beralasan, mengingat di dalam Bujangga Manik, sekitar tahun 1473 – 1478 ia pernah berhenti di dekat Talagawarna dana masih tetap utuh. Kisah Bujangga Manik tersebut menyebutkan, sebagai berikut : Sananyjak aing ka Bangis, / Ku ngaing geus / aleumpang, / Nepi ka Talaga Hening, / Ngahusir aing ka Peusing. Menurut Suhamir Salmun telaga ini terletak pada aliran Ciliwung. Namun para petutur Pantun mengisahkan, bahwa : “telaga yang berada pada aliran Ciliwung disebut Kamalawijaya (kamala = air), sedangkan yang berada di Rancamaya disebut Rena Wijaya. Istilah Rena Wijaya menjadi Rancamaya disebabkan lidah urang sunda yang lebih familir menyebutkan Ranca ketimbang menyebutkan Rena. Hal ini dianggap sejalan dengan naskah Carita Parahyangan, yang menyatakan Rancamaya pernah disaeuran (di bandung) oleh Sang Haluwesi, adik Susuktunggal. (RPMSJB, Jilid Keempat, hal.8) Menurut Amir Sutaarga (1966), danau buatan tersebut menahan air sungai Ciliwung dari Bantar Peuteuy sampai dengan Babakan Pilar. Jika dilihat dari ketinggian air mancur (tugu, pilar), dari sisi jalan raya Jakarta – Bogor (bukan dari jalan tol), kemudian turun kebawah menuruni Sungai Ciliwung, maka akan nampak adanya penyempitan pada tepi sungai ini, dan dasar pada sungai ini jatuh dibawah masih kelihatan penumpukan batu-batu kali yang besar. Sutaarga menggambarkan keadaan tersebut setelah terinspirasi dari informasi juru pantun Bogor : Inyana laju nindak deui / ka leuwi Kipatahunan / anu kiwari disarebutna / Sipatahunan atawa Cipatahunan / nu aya di talaga panjang / nu ngaran Talaga Kamala Rena Wijaya / anu kiwari mah ngan kari urut / nyanghulu ka Bantar Peuteuy / nunjangna ka Babakan Pilar. (ia kemudian pergi lagi / ke lubuk Kipatahunan / yang sekarang disebut orang / Sipatahunan atau Cipatahunan / yang adanya di Telaga Kemala Rena Wijaya / yang sekarang hanya tinggal bekasnya / beruhulu ke Bantar Peuteuy / ujung kakinya pada Babakan Pilar). Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya sebelum dijadikan real estate, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Sebelum tahun 1966, di sisi utara lapang bola Rancamaya, merupakan tepi telaga yang bersambung dengan kaki bukit. Alasan lainnya, kedekatan Cirancamaya dengan Badigul melambangkan adanya kesatuan Sunda dengan Galuh, yakni Cirancamaya dilambangkan sebagai urang Galuh (air) sedangkan gunung Badigul dilambangkan sebagai urang Sunda (gunung). Sri Baduga disebut Sang Lumahing (Sang Mokteng) di Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, sehingga Rancamaya dianggap memiliki nilai yang tersendiri. Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi 25 meter dan pohon beringin. Dewasa ini seluruh situs sudah dihancurkan, bahkan sudah dirikan Real Estate. Konon surat keputusan tentang Cagar Budaya tidak mampu menahan laju pembangunan – Pre Historis, namun pernah di dalamnya ditambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai Makam Wali, sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya, disebut sebagai makam Raja Galuh. Mungkin pula sama dengan klim Gus Dur terhadap Makam leluhur Panjalu di Situ Lengkong. Jadi kapan ditatar Sunda bisa memiliki jejak ‘Karuhun’-nya. Dari berita Portugis Pada tahun 1513 Portugis mengunjungi Pajajaran dengan membawa empat kapal. Berita ini diketahui dari catatan Tome Pires yang ikut dalam rombongan tersebut. pada kesempatan ini pula Tome Pires berhasil mewawancarai beberapa pihak yang ada di Pajajaran, untuk kemudian ia bukukan didalam “The Suma Oriental”. Dari penelitiannya Tome Pires mengetahui wilayah pelabuhan yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang, Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk kemudian ia membahas Cirebon dalam babnya tentang Jawa. Dayo (dayeuh) di istilahkan untuk menyebut ibukota yang terletak sejauh dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Rumah-rumah di Pakuan indah-indah dan besar, terbuat dari kayu palem, sedangkan istana raja (Sri Bima) dikelilingi oleh 330 pilar, masing-masing sebesar tong anggur yang tinggi + 9 meter dan dihiasi berbagai macam ukiran pada puncaknya. Menurut RPMSJB (1983-1984), Pires menyebutkan Sunda sebagai negeri ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok negeri sampai ke Maladewa. Komoditi perdagangan yang terpenting adalah beras (10 jung pertahun), lada (1.000 bahar setahun), kain tenun (diekspor ke Malaka). Demikian pula sayuran dan daging sampai melimpah, bahkan tamarin (asam) cukup untuk dimuat dalam seribu kapal. (Jilid keempat, hal 10). Pajajaran telah mengenal alat tukar, berupa uang emas dan kepeng. Pajajaran juga sebagai importir tekstil halus dari Cambay dan kuda Pariaman yang mencapai 4.000 ekor setahun. Kuda tersebut digunakan sebagai alat pengangkutan, angkatan perang dan berburu yang merupakan olah raga kaum bangsawan. Kesan Tome Pires terhadap Urang Sunda waktu itu adalah : menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar (robust), dan ‘the are true man’ – mereka orang jujur. Sedangkan terhadap pemerintahan Sri Baduga mencatat, bahwa :”Kerajaan Sunda diperintah dengan adil “ (The Kingdom of Sunda is justly geverned). Dari kebebasaran tersebut, ada lantunan Ki Baju Rombeng, Juru Pantun dari Bogor yang hidup pada awal ke 20. Talung talung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). Cag heula. (***) Sumber Bacaan : Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung - 1966. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005 Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005. Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com Sumber: http://akibalangantrang.blogspot.com/2010/04/kejayaan-pakuan_4395.html

Terjemahan Sanghyang Siksakandang Karesian

Written by Mang Kabayan Wednesday, 16 February 2011 01:51 Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis pada abad ke-15 pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuna. Naskah ini berisi nasihat mengenai etika dan budi pekerti Sunda, yang disampaikan Rakyan Darmasiksa (Prabu Resi Guru Darmasiksa), Raja Sunda Galuh Pakuan ke-25, memerintah selama 122 tahun (12 tahun di Saunggalah Kuningan dan sisanya Pakuan Bogor), Penguasa Galunggung, kepada puteranya Ragasuci (Sang Lumahing Taman). Terjemahan Sanghyang Siksakandang Karesian diambil dari Buku : “ Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan” oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa. Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktirat Jendral Kabudayaan Dep Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung Tahun 1987. Naskah ini dibuat pada tahun 1518 M, memakai aksara Sunda kuno. Terjemahan Sanghyang Siksakandang Karesian I Ya inilah yang akan diajarkan oleh sang budiman bagi mereka yang mencari kebahagiaan. Ada (ajaran) yang bernama sanghiyang siksakandang karesian untuk kewaspadaan semua orang. Inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian. Inilah sanghiyang dasa kreta1 untuk pegangan orang banyak. Siapapun yang hendak menegakkan sarana kesejahteraan agar dapat lama hidup, lama tinggal (di dunia). berhasil dalam peternakan, berha-sil dalam pertanian,2 selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak. Inilah kenyataan yang disebut sanghiyang dasa kreta. Bayang bayang dasa sila, maya-maya3 sanghiyang dasa marga, perwujudan dasa indera untuk menyejahterakan dunia kehidupan di dunia yang luas.4 Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang,5 bersih halaman bclakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi. kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup. selalu6 sehat. sumbernya terletak pada manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam kehidupan namanya. Ini sanghiyang dasa kreta yang disebutkan sebagai bayang-bayang sanghiyang dasa sila,7 ya maya-maya sanghiyang dasa marga. perwujudan dasa indera. Inilah kenyataannya. Telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran. Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak dipandang karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila mata terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam penglihatan. Kulit jangan digelisahkan karena panas ataupun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit. Lidah jangan salah kecap karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari lidah. Hidung jangan salah cium karena menjadi pintu bencana penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan II neraka: namun bila hidung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari hidung. Mulut jangan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari mulut. Tangan jangan sembarang ambil karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tangan terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tangan. Kaki jangan sembarang melangkah karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila kaki tcrpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kaki. Tumbung8 jangan dipakai keter9 karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tumbung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tumbung. Baga-purusa10jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyabab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila baga-purusa terpelihara, kita akan memperoleh keutamaan dari baga dan purusa, Ya itulah yang disebut dasa kreta. Kalau sudah terpelihara pintu (nafsu) yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikian pula perbuatan sang raja. Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan11 siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado12 tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Ya itulah yang disebut dasa prebakti III Ini yang harus dilaksanakan, amanat sang budiman sejati. Puji dan sembahku kepada Siwa, horrnatku kepada sanghiyang panca tatagata.13. Panca berarti lima, tata berarti ucap, gata berarti raga, Ya itulah yang memberikan kebaikan kepada semuanya. Panca aksara14 adalah guru manusia. Panca aksara itu kenyataan yang terlihat, terasa dan tersaksikan oleh indera kita. Guru itu tempat bertanya orang banyak, Karena itu dinamakan guru manusia. Kebodohan itu baru ada setelah adanya dunia. Ini kenyataanya. Namanya ya panca byapara.15 Sanghiyang pretiwi (tanah), air, cahaya, angin dan angkasa. Ujar sang budiman manusia besar: itu semua milik kita. Yang diibaratkan tanah yaitu kulit, yang diibaratkan air yaitu darah dan ludah, yang diibaratkan cahaya yaitu mata, yang diibaratkan angin yaitu tulang, yang diibaratkan angkasa yaitu kepala. Itulah yang disebut pretiwi dalam tubuh. Ya diibaratkan oleh penguasa bumi. Ya menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi dan tarahan. Ini panca putera:16 pretiwi adalah Sang Mangukuhan, air adalah Sang Katungmaralah, cahaya adalah Sang Karungkalah, angin adalah Sang Sandanggreba, angkasa adalah Sang Wretikandayun,17 Ini panca kusika:18 Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri. Sang Patanjala di Panjulan, Kalau terpahami semua sanghiyang wuku19 lima di bumi tentu (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hiyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempal Hiyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya. IV Utara yaitu utara, tempat Hiyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian itulah wuku lima di bumi. Ini Wuku lima pada rnaha pendeta. Rahasia itu terasa dalam bertutur; tapa itu terasa dalam berkelana; duduk itu terasa dalam keteguhan; kepastian itu terasa dalam kemustahilan; kelepasan itu terasa dalam memberi tanpa diberi, mengingat (eling) tanpa batas. Sekian wuku lima pada maha pendeta. Ini modal kesejahteraan yaitu mereka sang dewata lima.20 Semua mewakili namanya sendiri; semua melihat rupanya serdiri. Namun kalau tidak terasa ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya, lurus bertemu dengan lurusnya. Demikianlah karena perbuatan manusia maka sejahtera, karena perbuatan manusia maka sentosa. Ini pekerjaan hulun21 untuk jalan kita inengabdi. Pekerjaan itu disebut bakal budi, tingkah laku itu namanya jalan. Hendaknya takut, berhati-hati(?), hormat dan sopan dalam tingkah. dalam perbu-atan, dalam ulah dan perkataan. Demikian pula bila berada di hadapan sang raja. Tetaplah setia dalam pcngabdian, akan pulih dari noda yang sepuluh,22 pasti terha-pus dosa dan hilang23penderitaan, bersua dengan kebahagiaan. Bila benar-benar melaksanakan tugas sebagai hulun, yang demikian itu lebih memadai dari hasrat24 setinggi bukit, bertapa di puncak gunung karena terlarang bertapa di atas gajah atau moncong singa; mudah mendapat bencana besar. Ini perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Turutlah sanghiyang siksakandang karesian. V Waspadalah agar kita terluput dari pancagati25 agar tidak sengsara. Jangan hianat jangan culas, jangan menghianati diri sendiri. Yang dikatakan menghianati diri sendiri yaitu: yang ada dikatakan bukan, yang bukan dikatakan benar. Ya begitulah,tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut menghianati diri sendiri. Yang disebut menghianati orang lain adalah: memetik (milik orang) tanpa izin, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa mem-beri tahu. Demikian pula: merampas. mencuri, merampok, menodong; segala macam perbuatan hianat. ya menghianati orang lain namanya. Demikian pula: merangkum (mengambil barang orang dengan kedua telapak tangan), memasukkan tangan (untuk mengambil barang orang), mencomot, merebut, merogoh, menggerayangi rumah orang, Begitu juga terus menerus tinggal di rumah majikan, rumah penguasa atau pada raja. Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh seorang hulun. Jangan lupa menggunakan ucap yang hormat, sopan dan mantap, bakti dan susila kepada sesama manusia, kepada sanak keluarga. Demikianlah kepada raja kita. Kaki itu untuk bersila dan tangan untuk menyembah. Hati-hatilah kita berbincang dengan menak, dengan majikan pemilik tanah. dengan kedua orang tua,26 dengan wanita larangan:27 Begitu pula dengan raja kita. Bila kepada kita dipercayakan suatu rahasia, jangan rnunafik pikiran kita, demikian pula salah jawab, kelihatan roman muka tidak senang oleh raja kita. Jangan, pemali ! Nanti gugur hasil kita bertapa, hilang jasa nenek moyang, akan lenyap hasil jerih payah kita, akan tertimpa kesengsaraan, diusir VI oleh sang raja. Kalau tak akan setia kepada raja kita, bila kemudian kita men-derita sakit, menjadi lemah karena tak bertenaga atau merasa bingung, lalu terang-terangan mengatakan bahwa hal itu keterlaluan. Karena itu belajarlah setia kepada raja; tetapi bila kita bertindak, jangan mengeluh, jangan kecewa, jangan enggan diperintah, jangan iri, jangan dengki kepada kawan semajikan. Demikianlah bila melihat orang yang mendapat pujian, mendapat selir, melihat yang dikasihi oleh raja, kemudian hendak goyah kesetiaan kita. Jangan, pemali! Akibat buruknya ialah jadi murung sa kit hati. Tak akan dapat diobati, jampi tak akan mempan, niat tak akan terlaksana karena tidak dibenarkan oleh sanghiyang siksakandang karesian. Demikianlah bila kita menjadi anggota pasukan28 janganlah sampai mendapat marah. Kalaupun kita mendapat marah jangan sampai tidak berbakti kepada nu nangganan karena ia tanda29 sang raja. Bila kita mendapat perintah, jangan melupakan sanghiyang siksakandang karesian. agar kita tetap setia kepada tugas. Namun kalau ada yang (diperintah) ke utara, selatan, barat dan timur. janganlah siwok cante, jangan simur cante, jangan simar cante, jangan darma cante. Ya itulah yang disebut catur yatna (empat kewaspadaan). Inilah keterangannya. Yang disebut siwok cante30 adalah tergoda oleh makan-minum. Yang disebut simur cante adalah ikut perbuatan orang yang mencuri, merebut dan merangkum. Itulah yang dinamakan salah langkah,31 yang disebut simar cante adalah mengambil dagangan mas dan perak berlembar-lembar tanpa disuruh yang empunya barang. VII Ya salah jualan namanya. Yang disebut darma canten ialah membantu (pihak) yang dibenci oleh raja kita. Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara Hal itu jangan dilakukan oleh seorang hulun. Suka terhadap yang dibenci (oleh raja), benci terhadap yang disukai (oleh raja). Hal itu tidak layak kita perbuat selaku seorang hulun. Ini untuk kita menurut kepada raja, supaya kita lama dijadikan hulun, agar kita lama diaku oleh raja kita. Ikuti sanghiyang siksakandang karesian! Lihatlah sang penguasa. Kalau raja marah kitapun harus ikut marah bersama raja. Kalau raja memuji kitapun harus ikut memuji bersama raja. Kalau tidak ikut memuji atau mencela bersama raja, itulah tanda mungkir bahwa kita berbakti kepada raja. Kalau kita (diperintah) pergi ke hutan. janganlah lupa baju dan selimut. Kalau tidak bersama raja, perhatikan (peraturan) dalam sik-sakandang karesian. Peraturannya yaitu: jangan memetik sayur di ladang kecil orang lain, juga di kebun orang lain. Akan sia-sia hasil kita beramal baik. Batas kebun di hutan, kayu yang ditandai tali, pohon buah yang ditandai ranting, kayu bakar yang disandarkan, cendawan yang ditu-tupi, sarang tiwuan, odeng, lebah, engang, ulat kayu, parakan32 atau apapun yang telah diberi simpul babayan33 jangan diambil. VIII Demikian pula menurunkan sadapan orang lain jangan sekali-kali dilakukan karena merupakan sumber dosa dan pangkal kenistaan dan noda. Kalau kite menemukan jalan, besar atau kecil, segeralah ber-cangcut dan berpakaian34 sebab mungkin kita berpapasan (berpandangan) dengan gusti atau mantri. Kita harus berada di sebelah kiri dan berjongkok. Bila (bersua) pujangga. brahmana, raja pendeta, mangkubumi, putera raja, kaya atau miskin, demikian pula bila bersua dengan guruloka, kita hams berada di sebelah kirinya karena dia itu guru sang prabu. Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan.35 Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rara hulanjar36 agara tidak terkena godaan di perjalanan. Demikian pula memegang tangan(nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut godaan di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya. Menyahut orang batuk, mendeham, membuang dahak, demikian pula menyahut ibu-ibu yang menyanyi, disebut lembu memasuki gelanggang. Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka. Demikian pula sepenginapan, setempat-tinggal, seberanda, sebalai-balai dengan semua orang suci, semua wanita larangan, dinamakan kerbau sepemakanan.37 Ya semuanya perlu diingat, disebut.perbuatan pemali namanya. IX Semua itu jangan sekali-kali ditiru oleh hulun semuanya. Kalau kita hendak; membawa maka berbicaralah kepada penguasa. Kalau disetujui, rundingkanlah peri hal sakitnya, matinya, hilangna, kuburannya semua, bawalah! Tidak akan menjadikan aturan. Kalau tidak disetujui, jangan! Kalau berkeras hendak membawa dia, bila ia sakit harus diurus, bila mati atau hilang harus mengganti sendiri menurut kemampuan, karena itu hati-hatilah! Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang38 dasa,39 calagara, upeti, panggeres reuma,40 tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara, adik, kakak, anak, sahabat, suan atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki. Resapkanlah puja dan berlindung kepada hiyang dan dewata. Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang41 besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran, mengandangkan ter-nak. memasang ranjau tajam, membendung sebahagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, jangan marah-marah. jangan munafik, jangan resah dan uring uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya. Resapkanlah tugas kita. Namun bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah diujung bagian yang tak berumput, agara tidak tercium oleh menak dan gusti. Timbuni tungku yang berlubang lubang supaya tidak dikutuk dan disalahkan ibu-bapak dan perguruan, disesali oleh orang-orang tua karena perbuatan kita yang ceroboh. Namun kalau menurut sanghiyang siksa, berak harus tujuh langkah dari jalan, kencing harus tiga langkah dari jalan. X Pasti tidak akan dimarahi orang lain karena kita mengetahui perbuatan yang terlarang. Kalau dikerjakan akan mcndatangkan sedih. yang terlarang itu dapat mengakibatkan kematian; dan (dalam kota itu) perhatikanlah tempat hukuman (?). ujung kayu penjepit tangan hukuman, mungkin pemandian keraton, kandang larangan, rumah larangan. Demikian pula memintas jalan, menghampiri atau melewati rombongan raja yang sedang bercengkerama, karena semua itu merupakan perbuatan dosa. Bila kita masuk ke keraton, maka baik baiklah melihat, jangan sampai melanggar, mendorong, mengganggu atau memutus jajaran (orang-orang yang duduk). Bila kita duduk jangan salah menghadap, baik baiklah bersila. Dan sekiranya kita diajak bicara oleh raja, pikirkanlah betul-betul bicara kita. Harus layak supaya menyenangkan raja. Dan perihatikanlah mereka yang dapat ditiru: mantri, gusti yang terkemuka, bayangkara yang menghadap, pangalasan. juru lukis, pandai besi. ahli kulit, dalang wayang, pembuat gamelan, pemain sandiwara, pelawak, peladang. penyadap. penyawah, penyapu. bela mati, juru moha, barat katiga, prajurit, pemanah, pemarang, petugas dasa dan penangkap ikan, juru selam dan segala macam pekerjaan. Semua setia kepada tugas untuk raja, itu semua patut ditiru sebab mereka melakukan tapan dalam negara, Jika ada di antara kita yang dimarahi oleh raja, itu semua jangan ditiru perbuatannya, nanti kitapun mendapat marah pula. Ini perbandingannya;kalau orang pergi ke hutan menginjak duri, lalu kitapun penginjaknya, terasa sama sakitnya. XI Bila ada di antara kita yang terpuji: cekatan, terampil, penuh keutamaan, cermat, teliti. rajin, tekun, setia kepada tugas dari raja. Yang demikian itu perlu ditiru perbuatan dan kemahirannya. pasti kitapun akan mendapat pujian pula. Bila ada orang baik penampilannya, baik tingkahnya, baik perbuatannya, tirulah seluruhnya karena yang demikian itu disebut manusia utama. Bila ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya, tetapi baik perbuatannya. yang demikian itu jangan ditiru tingkahnya, dan perhatikan penampilannya. Tirulah perbuatannya. Kalau ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya dan buruk pula perbuatannya, yang demikian itu noda dunia, menjadi pengganti (tumbal) kita seluruh dunia, namanya kebusukan (diantara) manusia. Itu semua patut diingat, sengsara dan bahagia, buruk dan baik, tergantung kepada guru. Ini tandanya. Ada orang mati waktu mencuri, mati ketika menggerayangi rumah orang, mati waktu menodong, mati waktu merangkum, dan segala macam perbuatan hianat, semua itu harus diperhatikan karena jangan dijadikan contoh. Ya itulah yang disebut guru nista. Ada lagi. Kalau kita menonton wayang, mendengarkan juru pantun, Ialu menemukan pelajaran dari kisahnya. itu disebut guru panggung. Bila kita menemukan pelajaran yang baik dari membaca ya disebut guru tangtu. Kalau melihat hasil pekerjaan besar seperti: ukir-ukiran, hasil pahatan, papadungan (papasan kayu?), lukisan, enggan bertanya kepada pembuatnya, terpahami oleh rasa sendiri hasil mengamati karya orang lain, ya disebut guru wreti. XII Mendapat ilmu dari anak. disebut guru rare. Mendapat pelajaran dari kakek, disebut guru kaki. Mendapat pelajaran dari kakak, disebut guru kakang. Mendapat palajaran dari toa, disebut guru ua. Mendapat pelajaran di tempai bepergian, di kampung di tempat bermalam, di tempat berhenti, di tempat menumpang, disebut guru hawan. Mendapat pelajaran dari ibu dan bapak, disebut guru kamulan. Demikian pula kalau berguru kepada maha pendeta, disebut guru utama, ya disebut guru mulya, guru premana, ya guru kaupadesaan. Itulah yang disebut catur utama (empat keutamaan). Karena itu bila telah selesai menunaikan semua kewajiban dan pekerjaan, periksalah kembali mana yang jelek mana yang bagus, mana yang buruk mana yang baik. Begiiulah bila aya yang memuji kita, hendaknya segan dan sadarlah kita, ganti kembalikan kepada yang memuji supaya kita tidak mementingkan pujian orang lain. Kalau kita senang dipuji, ibarat galah panjang disambung ranting (belalai) karena merasa senang oleh pujian, Lalu menjadi tekebur karena merasa diri berkecukupan di rumah sendiri dengan makanan, minuman, kesenangan, kenikmatan dan perabotan, lalu dijadikan andalan. Itu disebut galah panjang. Itu ibarat padi hampa namanya. XIII Begitulah, kalau ada yang mencela (mengeritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu. Yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian; ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit, bagaikan datang orang yang meminyaki; ibarat kita sedang lapar, bagaikan datang yang memberi nasi; ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman; ibarat kita sedang kesal hati, bagaikan datang orang yang memberi sirih pinang. Itulah yang discbut panca parisuda (lima penawar); ibarat galah sodok diperpendek. Bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi. pasti sejahteralah orang banyak, karena bertemu dengan sumber kesenangan dan kenikmatan, (yaitu) tahan celaan dan mengambil (memperhatikan) nasihat orang lain. Bila sedang sibuk tundalah sementara, (lebih-lebih) bila sedang tidak ada pekerjaan, untuk menjenguk ibu-bapak. Itulah yang disebut manusia sejati; yang disebut keutamaan tertinggi: ibarat dewa berwujud manusia namanya; berperibadi sempurna. benih kebajikan dan pohon kebenaran. Ini pelengkap perbuatan, agar tidak gagal dalarn hidup. agar rumah tangga kita penuh berkah, (yaitu) cermat. teliti, rajin. tekun. cukup sandang, bersemangat, berperibadi pahlawan, bijaksana, berani berkurban, dermawan, cekatan, terampil. Bila kita membuat sawah. untuk sekedar tidak sengsara; bila kita membuat kebun, untuk sekedar tidak mengambil sayur-sayuran di ladang kecil milik orang lain atau ke ladang luas milik orang lain, sebab tak akan dapat meminta-nya: memelihara ternak tiduk sekedar tidak membeli atau menukar (barter), (memiliki) perkakas untuk sekedar tidak meminjam; selimut dan pakaian jangan kekurangan; makan dan minum jangan kekurangan; anak dan isteri nasihati supaya tidak dikatakan merusak kesusilaan. XIV Perhatikanlah sanghiyang siksakandang karesian. Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah ; kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa. Demikian pula (mengenai) kejujuran anak-isteri. jangan ber-sikap pembeli hati supaya tidak hanya tampaknya saja berbuat. Bila kita berhasil mengajarinya dan menuruti nasihat, itulah anak kita, isteri kita. Bila tidak menuruti nasihat, mereka itu sama saja dengan orang lain. Namun bila tetap bandel, isteri dan anak yang demikian, sudahlah jangan kita aku. Pasti kita mendapat beban. pasti tersesat masuk neraka, musnah hasil amal kita, hilang pahala leluhur. Ini ajaran sang darma pitutur, agar hidup kita tidak tanpa tekad memelihara hasrat. Alat hias itu sisir, bejana berisi air itu jernih, tampak (dasar) tempatnya dan tampak tanpa busa. Dikatakan: seri itu namanya emas, Adapun emas. bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok cemerlang indah sebab terpelihara, Demikianlah tamsil kita manusia ini. Kalau mentaati sanghyang siksa, sejahteralah perasaan kita ibarat lurus bertemu dengan lurus-nya. Bila tidak mentaati sanghyang siksa kreta ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya. Alat hias itu cermin. Adapun cermin, bila tidaK terlihat, samarlah bayangan kita. Bila terlihat akan jelaslah rupa kita di dalam cermin itu, XV Begitulah manusia ini, dapat meniru perilaku orang lain. Bila sempurna pasti terikuti oleh perasaan kita. Kalau tidak akan bisa menuruti nasihat, membelakangi aturan namanya. Jemangan itu disebut tempat bercermin. Yang dapat dianggap air bening itu ialah budi kita yang baik. Oleh sebab itu maka lihatlah agar pikiran kita tetap hidup. Negeri itu disebut kota. Adapun kota, bila kosong tak ada yang patut ditiru. Demikian pula perkataan, bila tidak berisi. dusta namanya. Tetapi bila bersih dan pada tempatnya, itu semuanya patut ditiru, Demikianlah semua perkataan. Bila terisi, maka dikatakan benar-benar terbukti. Demikianlah kita manusia ini. Bila ingin tahu sumber kesenangan dan kenikmatan. ingat-ingatlah kata sang darma pitutur. Inilah selokannya: telaga dikisahkan angsa gajah mcngisahkan hu tan ikan mengisahkan laut bunga dikisahkan umbang. Maksudnya, demikianlah bila kita akan bertindak, janganlah salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa. Umpamanya ada orang menekuni pedoman hidup, jernih pikiran, hidup hasratnya, bergelora, ibarat angsa berada di telaga bening. Bila ingin tahu isi laut tanyalah ikan. Ibaratnya orang ingin tahu tentang budi raja dan budi mahapendeta. Bila ingin tahu tentang isi hutan tanyalah gajah, Ini maksudnya. Yang diibaratkan isi ialah tahu keinginan orang banyak. Yang diibaratkan gajah ialah tahu tentang kekuatan sang raja. XVI Bila ingin tahu tentang harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Maksudnya yang diibaratkan kumbang itu ialah orang dapat pergi mengembara. tahu perilaku orang lain. Yang diibaratkan harum bunga ialah manusia yang sempurna tingkah lakunya, manis tutur katarya selalu tampak tersenyum penuh kebahagiaan. Maksudnya janganlah salah memilih tempat bertanya. Bila ingin tahu semua ceritera seperti: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa. Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana. Kala Purbaka, Jarini, Tantri; ya segala macam ceritera tanyalah dalang. Bila ingin tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan. kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, prord eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-gelan: segala macam lagu, tanyalah paraguna (ahli karawitan). Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh. ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neurcuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung. asup kana lantar, ngadu nini: segala macam permaman, tanyalah empul. Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun Segala macam lukisan, seperti: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan. urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata, kembang tarate: segala macam lukisan, tanyalah pelukis. XVII Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang. baliung. patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi. Segala macam ukiran ialah: naga-nagaan, barong-barongan. ukiran burung. ukiran kera, ukiran singa; segala macam ukiran, tanyalah maranggi (ahli ukir). Segala macam masakan, seperti: nyupar-nyapir, rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis; segala macam masakan, tanyalah hareup catra (juru masak). Segala macam kain. seperti: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis Jaya(n)ti, cecempaan, paparana- XVIII kan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh. gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten; segala macam kain, tanyalah pangeuyeuk (ahli tekstil). Bila ingin tahu agama dan parigama: acara tunduk kepada adigama, adigama tunduk kepada gurugama, gurugama tunduk kepada tuhagama, tuhagama tunduk kepada satmata, satmata tunduk kepada surakloka, surakloka tunduk kepada nirawerah. Manusia utama bebas dari dosa, Bebas dari dosa ciri manusia utama; segala hal mengenai agama dan parigama tanyalah pratanda. Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik. lemah mrewasa, adipati, prebut sakti, pake prajurit, tapak sawetrik; tanyalah panglima perang. Bila ingin tahu semua mantra, seperti: jampa-jampa, geugeui(ng). susuratan, sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan; segala macam ajian tanyalah-brahmana. Bila ingin tahu tentang puja dan sanggar, seperti: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang, nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang: segala macam hal mengenai memuja tanyalah janggan (biarawan) Bila ingin tahu tentang-perhitungan waktu, seperti: bulan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg, bumi kape(n)dem, bumi grempa: segala macam pengetahuan vvarisan leluhur, tanyalah bujangga. XIX Bila ingin tahu tentang darmasiksa. siksakandang, pasuktapa, padenaan. maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana. tato sarira, tato ajnyana; segala macam isi pustaka, lanyalah pendeta, Demikian pulah tentang kesempurnaan di seluruh kerajaan, kemulyaan, keutamaan, kewaspadaan, keagungan, tanyalah raja. Bila ingin tahu tentang cara-cara mengukur tanah, seperti : mengatur tempat, membagi-bagikan kepada seluruh rakyat, memberi tanda batas, meratakan, membersihkan lahan, mengukur, menyamakan, meluruskan, .mengatur. bila tinggi didatarkan, bila rendah diratakan; segala macam pengaturan tempat. tanyalah mangkubumi. Bila ingin tahu tentang semua pelabuhan, demikian pula: gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo. karang nunggung, tunggara, barat daya: segala macam tempat di laut, pelayaran, tanyalah puhawang (nakhoda). Bila ingin tahu segala macam harga, seperti: tiga juta, tiga ratus-ribu, tiga puluh ribu, tiga ribu, enam ratus, tiga ratus, tiga puluh, demikian pula kedua belas, ketiga belas, keempat belas, kelima belas, keenam belas. ketujuh belas, kedelapan belas: segala macam harga tanyalah citrik byapari (orang terpelajar/pandai). XX Bila ingin tahu tentang sandi, tapa, lungguh, pratyaksa. putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita, kalpa carita: segala macam mengenai penyebutan para dewata semuanya, tanyalah wiku paraloka. Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, sepertj: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Ball, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru basa darmamurcaya. Itu semua patut diketahui tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu; itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita. Pasti ditunggu oleh neraka bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi, untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan karena semua itu ketentuan dari hyang dan dewata, Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujar-nya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa- XXI h, baktilah kepada Batara! Ujarnya: India. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala42 Semua menemukan "Yang Hak" dan "Yang Wujud". Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi "Permata di dalam sangkar", untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata. Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah dan tinggi semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Go(h)muka. Karena keunggulan ilmu manusia terungguli oleh dewata, Kata sang darma pitutur mengajarkan ucap para leluhur. Ada lagi perbandingannya. Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma hasil jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya. Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuannya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui. Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bukan suaminya, tidak layak nanianya. XXII Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, ridak layak namanya. Boleh dijerumuskan ke dalam neraka si mregawijaya. (sebagai) manusia yang mengutamakan perbuatan yang salah. Inilah ungkapan perbuatan manusia yang salah: burangkak, marende, mariris. wirang. Yang disebut catur buta (empat hal yang mengerikan). Maksudnya burangkak berarti mengerikan. Yang dianggap mengerikan yaitu ke'akuan manusia yang ketus, tak mau menyapa se-sama orang. bicara sambil marah dan membentak, bicara sambil membelalak, bicara kasar dengan nada menghina, buruk lakuan, ber-hati panas, tidak layak namanya. Ya itulah yang dianggap mengerikan perbuatan manusia semacam itu. Tak ubahnya seperti raksasa, durgi. durga, kala, buta, layaknya menempati tanah-tanah yang kotor. Yang disebut tanah-tanah yang kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbuang. Demikianlah kejadiannya bagi yang berkeras berbuat buruk; karena perbuatan manusia yang bertingkah menakutkan orang lain kejadiannya tergolong kepada maha gila, karena tidak mengikuti sanghyang sasanakreta, karena melanggar sanghyang siksakandang karesian. Maka menjadi maha gila itulah yang dimaksud dengan burangkak. Marende berarti diduga dingin nyatanya panas. Dimanjakan, dikasihani, dibujuk, disayangi, diberi kesenangan dan kenikmatan, diberi hamba kaula; demikianlah direncanakannya. Nyatanya terkena oleh isi tegal si pantana (sumber kehancuran), yang mengalirkan kurban. Dari Timur bersenjatakan pedang. XXIII Seratus ribu orang terkena di sana. Dari Selatan gunung Batu. Berbarengan seribu orang nista di sana. Dari Barat raksasa bermuka api. Tidak terhitung jumlah orang nista di sana. Dari Utara seperti belalang ditusuki. Berbaieng seratus orang nista di sana. Dari tengah gagak si penghancur dengan sang senayaksa. Beribu-ribu orang nista di sana. Ye kenistaan karena marende namanya. Mariris berarti jijik, lebih jijik dari tahi, lebih jijik dari bangkai busuK. Demikianlah perbuatan orang yang panjang tangan, suka mengambil barang orang. Memetik apa-apa tanpa meminta, mencuri, merampok, mengecoh, merampas; segala macam dusta terhadap kebenaran, Bila mati rokhnya sengsara. Seribu seratus tahun terkena kutuk Batara, jauh pada kemungkinan menjadi manusia. Kalau menjelma menjadi binatang kotor. seperii: janggel, ulat tahun. piteuk, titinggi, jambelong, limus sakeureut, mear, pacet, lintah. lohong, gorong; segala macam yang dianggap jijik oleh orang banyak. Itulah yang disebut mariris. Wirang berarti: tidak mau jujur. tidak mau benar, tidak mau layak. tidak mau terus terang, tidak mau berusaha. Bila memiliki sifat tercela seperti mengancam, membunuh, ketagihan, tak mau kapok. Bila mati rokhnya mengalami sengsara di jembatan goyang (lapuk), titian tua, batu tertutup. Bila menjelma ke dunia menjadi golongan makhluk yang menakutkan, seperti: badak, harimau, buaya, ular besar; segala macam yang menakutkan manusia. Itulahyang disebut wirang. Sekianlah tentang catur buta. Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham tentang perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah. sendang, tinggi. XXIV Lalu memahami sabda sang prabu, sang rama. sang resi, bila dapat mengendalikan hasrat, ucap, dan budi. Maka yang demikian itu mengetahui tentang geuing. upageuing. parigeuing; yaitu yang disebut trigeuing. Geuing ialah dapat makan dan dapat minum dalam kesenangan. Itulah arti geuing. Upageuing berarti dapat bersandang. dapat berpakai, dapat berganti pakaian (selama yang lain dicuci), dapat berbusana. Itulah arti upageuing. Parigeuing berarti dapat memerintah. dapat menyuruh, karena tuturnya manis dan ramah. Sehingga tidak meerasa segan orang yang disuruh karena terkena oleh hasil menyelami seloka. Kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut). eten (upik), orok (bayi), anaking (anakku), adi ing (adikku). kepada yang tua menyebutlah: lanceuk ing (kakakku). suan ing(uaku). euceu ing(kakak perempuanku), aki ing (kakekku). Menyebut nama berkesan keterlaluan. Demikianlah (yang disebut) dasa pasanta (sepululi penenang hati), yaitu bijaksana, ramah, sayang, memikat hati. kasih. iba membujuk, memuji, membesarkan hati, mengambil bati. Maka senang. gembira, dan cerahlah orang yang disuruh. Itulah yang disebut pari-geuing. Inilah selokannya: emas, perak, pcrmata, intan. yang disebut catur yogya (empat hal yang terpuji. Ini maksudnya. Emas berarti ucapan yang jujur. tepat, nyata panca aksara. Perak berarti hati yang tenteram, baik. bahagia. Permata berarti hidup dalam keadaan cerah. puas, leluasa. Intan berarti mudah tertawa. murah senyum, baik hati. Itulah yang disebut catur yogya. Ada orang muncul dari kesuciannya (seperti): pancak saji (rumah sajen), pabutelan, pemujaan. rumah adat, candi, kuil, palinggan, sanggar hyang (Bali: Sulinggih), batu perunggu. tempat arca, lalu membuat orang-orangan dan membersihkannya XXV Demikianlah seluruh permukaan tanah terurus, air dapat disucikan, diberkati. Itulah manusia bahagia, manusia sempurna. ya manusia sejahtera. Yang dianggap muncul dari kesucian tanah yaitu, ingat kepada sanghyang siksa. berpegang teguh kepada ajaran ibu. bapak, kakek, dan buyut. mengetahui peraturan bagi maha pendeta, menukuhkan kata-kata kesentausaan. Menurut cerita zaman dahulu yang menegakkan sanghyang sasakreta itu ialah: Rahyangta Dewa Raja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta di Medang, Rahyangta di Menis. Itulah yang disebut catur kreta. Oleh karena itu sekarang manusia ingat kepada sanghyang darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia. Itulah yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Bila mati sukmanya akan menemukan sorga kebahagiaan. Mengalamj siang tanpa malam, suka tanpa duKa, kemulyaan tanpa kenistaan, senang tanpa penderitaan, indah tanpa buruk, gaib tanpa wujud, menjadi hyang tanpa mendadi dewa kembali. Itulah yang disebut peramalenyep (kesadaran utama). Demikianlah manusia sekarang. Bila kita mandi, air yang kita temukan mengandung dua pilihan yang keruh dan yang jernih. Demikianlah perbuatan manusia. Dua macam yang dilakukan: yang buruk dan yang baik. Begitulah manusia, mendapat susah karena perbuatan yang menyusahkan dirinya sendiri. Begitulah manusia, mendapat kebahagiaan karena perbuatan yang membahagiakan dirinya sendiri. Ya manusia itu susah karena ulahnya senang karena ulahnya. Befitulah air itu maka disebut ada dua macam pilihannya. Air sejuk dan bening adalah sanghyang darmawisesa. XXVI Itulah yang dilakukan oleh maha pendeta. Air suram dan keruh ialah pada rasa dan kelakuan yang dilakukan oleh sang wiku, masyarakat. orang yang berkedudukan semuanya. Ya ibarat centana (kesadaran) dengan acentana (ketidaksadaran). Yang sadar itu tahu mengingat nasihat dan tak pernah melupakannya; itulah awal manusia bahagian, pokok dunia yang sejahtera. Yang tidak sadar ialah yang lupa kepada hyang, bingung, tidak ada tutur yang diingatnya, ya pokok kehancuran, benih zaman akhir. urnbi keingkaran, benih kebohongan: penyebab manusia masuk neraka. Janganlah hal itu dikukuhi oleh mereka yang ingin benar. Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya. Kukuhkan, kuatkan, batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa. Maka menjadi sentosa dunia. maka menjadi sejahtera kehidupan ini, karena perbuatan manusia yang serba baik. Demikianlah, bila pendeta teguh dalam kependetaannya, akan sejahtera; bila wiku teguh dalam kewikuannya, akan sejahtera; bila manguyu (ahli gamelan) teguh dalam kemanguyuannya, akan sejahtera; .bila paliken (senirupawan) teguh pada kepalikenannya, akan sejahtera; bila tetega (biarawan) teguh dalam ketetegaannya, akan sejahtera; bila ameng (pelayan biara) teguh dalam keamengannya, akan sejahtera; bila wasi (catrik, pengikut agama) teguh dalam ke-wasiannya, akan sejahtera; bila ebon (biarawati) teguh dalam keebonannya, akan sejahtera; Demikian pula bila walka (pertapa yang me-ngenakan pakaian-kulit kayu) teguh dalam kewalkaannya, akan sejahtera; XXVII bila petani teguh dalam kepetaniannya, akan sejahtera; bila euwah(?) teguh dalam keeuwahannya, akan sejahtera; bila gusti (tuan tanah) teguh dalam kegustiannya akan sejahtera; bila masang(?) teguh dalam kemasangannya, akan sejahtera: bila bujangga (ahli falak) teguh dalam kcbujangaannya, akan sejahtera: bila tarahan (tukang tambangan perahu) teguh dalam ketarahannya, akan sejahtera: bila disi (ahli siasat/ramal) teguh dalam kedisiannya. akan sejahtera; bila rama teguh dalam keramaannya, akan sejahtera; bila resi teduh dalam keresiannya, akan sejahtera; bila prebu teguh dalam keprebuannya. akan sejahtera. Demikian, bila pendeta dan raja sungguh-sungguh menyejaht-rakan negara, maka sejahteralah di Utara, Selatan, Barat dan Timur semua yang tersangga oleh bumi, semua yang ternaungi oleh langit; hidup sentosalah serba makhluk semuanya. Serba makhluk semuanya yaitu: makhluk tumbuhan, makhluk hewan, janma wong, janma siwong, wastu siwong. Ya sekian itulah yang dikatakan serba makhluk seluruhnya. Makhluk tumbuhan yaitu: rumput, pohon, rambat, perdu. Semua hidup hijau subur, hamparan rumput; itulah yang disebut makhluk tumbuhan. Janma wong yaitu: hanya rupanya saja manusia karena tidak baik tabiaatnya. Janma siwong yaitu: hanya baik tabiat. dan turunannya saja tetapi belum mengetahui sanghyang darma. Wastu siwong yaitu: yang teguh pada pengetahuannya, mengetahui sanghyang darma, tahu hakikat sanghyang ajnyana; itulah yang disebut wastu siwong. Yang ini, barangkali ingin tahu tentang jumlah isi dunia. Inilah namanya: kurija, mataja, bagaja, payuja. Kurija ialah segala yang keluar dari mulut. Mataja ialah segala yang keluar dari mata (mata tunas); Bagaja ialah segala yang keluar dari kemaluan (perempuan), Payuja ialah segala yang keluar dari tumbung atau cungap. XXVIII Itulah yang disebut sanghyang catur mula. Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyi-geung, ngaruang, ngarombong. Ngangka berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti meluruskan, membelah, membaji, membagidua, meratakan, mengetok, mengikur. menyamakan. Ngaruang berarti segala macam kerja menggali Ngarombong berarti segala jenis pekerjaan memenggal-menggal (memberi batas). Itulah yang disebut sadguna (enam ke-gunaan). Sekian kegunaan manusia semuanya. Ini keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Maksudnya: yun suda ialah ingin sempurna, tidak mau terkena oleh serba penyakit; yun suka ialah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah ialah ingin sorga, tidak mau menemui dunia: yun luput bararti ingin moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni sorga. Ini untuk yang pergi mandi. Maksudnya laki-laki dan perempuan harus terpisah. Demikianlah untuk semuanya. Berapa macam bahan dagangan? Sebenarnya hanya mentah dan masak, bagus dan jelek, kecil dan besar. Berapa macam rasanya? Sebenarnya (hanya)lawana, kaduka, tritka, amba, kasaya, madura. Lawana berarti asin; kaduka berarti pedas; tritka berarti pahit; amba berarti masam, kasaya berarti gurih; madura berarti manis. Sekian terasanya oleh orang banyak. Ini untuk kita memperoleh kekayaan, yang akan diwariskan kepada keturunan kita semuanya: kepada anak, kepada cucu. kepada umpi, kepada cicip, kepada muning, kepada anggasantana, kepada pratisantana, kepada putuh wekas semua; yang pantas dan yang tidak pantas diwariskan di antara hasii usaha kita. XXIX Yang tidak layak dijadikan pusaka disebut makanan raksasa. Hasil judi, hasil usaha perhiasan tidak layak dijadikan pusaka, Yang demikian disebut diberikan kepada langit. Tetapi pemberian ibu. pemberian bapak, pemberian perguruan, boleh dijadikan pusaka. Yang demikian disebut dewata pelindung diri. Hasil pertanian boleh dijadikan pusaka. Disebutnya permata yang keluar dari bumi. Hasil peliharaan, hasil ternak, boleh dijadikan pusaka. Disebutnya mirah jatuh dari langit. Orang kaya yang sanggup menebus (hamba) perempuan, yang tidak diketahui ibu bapaknya janganlah dia dipekerjakan agar kita tidak terbawa salah. Ada lagi kita mengetahui ibu bapaknya, dan (perempuan itu) mencari tempat mengabdi. Bila sifat ibu bapaknya baik terhadap sesama orang, dan anaknya terbawa sifat orang tuanya. Boleh dipekerjakan. Tetapi bila ia sifatnya buruk janganlah dicoba-coba dipekerjakan. Disebutnya manusia sesat di neraka. Ada lagi orang yang baik kelakuannya. baik alur turunannya. baik orang tuanya, tebuslah. Tetapi jangan lantas diperistri mungkin ia hamba turunan. Jangan pula dikawinkan kepada kerabat kita. Lebih baik pintalah, dan bawakan sirih pinang agar mengabdi kepada kita. Demikianlah resepnya agar keluarganya kembali kepada asal. Untuk pencegah diri dari penjara, agar pamor keluarga kita baik untuk pencegah diri mendapat aib. XXX Ini untuk menjodohkan anak. Jangan terlalu cepat dijodohkan karena belum tentu tepat tindakan kita. Pada umumnya, bila terlalu kecil ibunya akan menurun kepada anak perempuan. Bila terlalu kecil bapaknya. akan menurun kepada anak laki-laki. Bila menurun dari semuany.a dari suami dan istri disebut keburuk merasuk kejelekan. Jangan menjodohkan anak kecil. agar tidak berbuta kesalahan, agar tidak merepotkan yang menjodohkan. ** Demikianlah pesan sang budiman, ujar sang darma pitutur me-nguraikan ajaran para leluhur* Yaitu ajaran perilaku y?.ng menjadi pe-lajaran: Sembah keoada Siwa ! Sembah kepada Buda! Sembah sepe-nuhnya kepada Jiwa Maha-sempurna ! Semoga pembaca menjadi; yang mengikuti ajaran kebajikan, memperhatikan cita-cita kesucian, mengikuti hukum-hukum pengabdian. Demikianlah yang dikatakan siksakandang karesian, semoga menjadi sumber pengetahuan bagi yang mendengarkari. Mulai menulis naskah waktu hari bersinar cerah. Selesai dalam bulan katiga, Ini (tahun) selesainya pustaka: nora (0) catur (4) sagara (4) wulanM)= 1440 Saka (1518 M) 1 dasa kreta =10 kesejahteraan yaitu kesejahteraan yang dicapai karena kernampuan men- jaga 10 sumber nafsu. 2 jadiyan = mudah jadi/tumbuh; tahun = pohon, tanaman. 3 maya-maya :- bayang-bayang yang samar. 4 tan parek sebenarnya berarti tidak dekat, jauh. 5 paka pridana dari paka = mempunyai dan paridhana = pakaian. 6 sowe sebenarnya berarti lama. 7 dasa sila (lihat catatan no. 3 terjemahan K.-408 !). 8 Tumbung adalah terjemahan kata payu (Sks.) yang berarti; lubang dubur (Mcd) atau lubang vagina (Er). Secara umum searti dengan cungap. 9 Keter - hubungan seksua! sejenis (homo sexual); 10 Baga-purusa (baga - kemaluan wanita; purusa - kemaluan laki-laki). 11 pacandaan atau pasandaan - tempat bersandar, majikan, 12 Wado (wadwa) = perajurit vang memimpin para petani melakukan kerja.-bakti untuk raja yang sedang berlangsung. 13 Tatagata dari Sks.: tatha = kenyataan yang ada; gata = yang sedang berlangsung; 14 Panca aksara = 5 huruf yaitu: NA, MA, SI, WA, YA yang masmg-masing dianggap identik dengan: Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu dan Siwa. 15 Panca byapara = 5 anasir pelindung/pembungkus. 16 Panca putera = 5 orang putera Sang Kandiawan yang dianggap penjelmaan panca kusika. 17 Wretikandayun = pendiri kerajaan Galuh. 18 Panca kusika = 5 orang resi murid Siwa dalam mitologi Hindu. 19 Wuku sebenarnya berarti: buku, ruas atau penggalan. . 20 Sang dewata lima = Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu dan Siwa. 21 Saka = asal, permulaan, tiang, semua. 22 Dasa kalesa - 10 noda adalah dosa yang bersumber kepada ketidak-mampuan memelihara dasa indera. 23 mali (kd: bali) = sembuh, putih. 24 Usya dari kata Skr.: usha = hasrat, keinginan. 25 Pancagati = 5 penyakit serakah, kebodohan, kejahatan, tekebur dan keangkuhan. 26 Buhaya di sini berarti ambu + ayah. 27 Estri larangan = wanita (gadis) yang telah bertunangan dan telah menerima panglarang (tanda pinangan) 28 Nangganan = membariskan; nu rungganan = pemimpin barisan yang kedudukannya setingkat di bawah mangkubumi. 29 Tanda = nu nangganan, pejabat tinggi negara. 30 Cante mungkin dari Sks.: Santya = berkobar, terbakar. 31 Dongdonan (kd.: dongdon = pergi melihat, bergabung). 32 Parakan = bagian sungai tempat menangkap ikan dengan cara mengeringkannya sebahagian. 33 Babayan = tati bergantung sebagai ciri pemilikan. 34 Pangadwa = pakaian yang terdiri atas dua bagian. 35 Halo = berseru (Er); haloan = seruan, godaaan. Mungkin juga dari haIwan (Jk) = zinah. 36 rara hulanjar = janda belum beranak, janda perawan. 37 Sapinaha dari Sks.: pinaha = makanan. 38 pangurung - petugas pajak. 39 lihat glosari I 40 serang = sawah atag ladang yang padinya digunakan untuk.kepentingan upacara umum, atau sawah ladang pejabat 41 Batara Seda Niskata adalah istilah Hyang yang disangsakertakan dan berarti Tuhan Yang Maha Gaib. Sumber: https://docs.google.com/Doc?id=dg3wmn8r_41dpjctgc5&hl=en